FIKSI HUKUM
Fiksi hukum adalah
asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure)
setiap orang
–miskin atau kaya, orang hukum atau bukan, dianggap tahu hukum. yang lazim
disebut fiksi hukum (rechtfictie).
Dalam sebuah fiksi
hukum, siapapun tanpa kecuali dianggap tahu hukum. Menjadi kesalahan besar jika
seseorang tidak tahu hukum (ignorante legs est lata culpa). Dalam bahasa
sederhana, seseorang tidak bisa ngeles bahwa ia tidak tahu hukum jika suatu
saat harus mempertanggungjawabkan sesuatu di depan hukum.
Sebuah cerita :
Zeus yang memimpin
dewa-dewi Olympus setelah memenangkan peperangan melawan para raksasa Titan dan
Kronos, segara mengambil tindakan. Keteraturan harus kembali dipulihkan. Hanya
dengan keteraturan saja kehidupan akan berjalan menuju kedamaian dan harmoni.
Untuk membantu memulihkan
kembali ketertiban dan menegakan hukum, Zeus mengutus dua orang dewi: Yustisia
dan Themis. Yustisia bertugas sebagai dewi keadilan dan penghukum bagi siapa
saja yang melakukan pelanggaran atas sabda Zeus serta berbuat zalim pada
sesama, tak peduli ia manusia bahkan dewa sekalipun. Karena itulah Zeus menutup
mata Yustisia, sehingga ia tak akan ragu mengayunkan pedang yang ada di
tangannya sebagai hukuman bagi para para pendosa tanpa pandang bulu. Themis
memiliki tugas yang berbeda. Ia bertugas mencatat semua sabda dan perintah Zeus
kemudian menyebarkannya kepada manusia dan para dewa, sehingga mereka tahu apa
kehendak Zeus yang tidak lain merupakan hukum yang harus ditaati tanpa
pengecualian.
Yustisia dan Themis
bekerja dalam sinergi. Tak akan ada penghukuman bila tidak ada hukum yang
mengaturnya. Tak akan ada penghukuman bila semua orang tidak mengetahui hukum dan
peraturan yang harus ditaati. Pedang Yustisia tidak akan terayun bila pena
Themis tidak mencatat sabda Zeus dan mengabarkannya pada manusia serta para
dewa.
Cerita yang lain :
Kebiasaan Raja
Hamurabi dari Babylonia (2000 SM) yang mendirikan tugu peringatan di
tempat-tempat publik setiap kali dia mengeluarkan hukum dan peraturan yang baru
bagi rakyatnya. Dalam tugu peringatan yang kemudian dikenal dengan Kode
Hamurabi itu tertera perintah-perintah raja Hamurabi yang dipahatkan di
permukaan tugu tersebut, sehingga semua orang dapat membacanya, mengetahuinya,
untuk kemudian mematuhinya.
Saat ini
Sebelum lahir
(masih dalam kandungan) sampai dengan mati, kehidupan seseorang telah di atur dalam
peraturan perundang-undangan.
Putusan MA No.
645K/Sip/1970 dan putusan MK No. 001/PUU-V/2007 memuat prinsip yang sama:
“ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan
pemaaf”.
Putusan MA No. 77
K/Kr/1961 menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah
undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”.
Faktanya
1)
Tidak setiap peraturan
perundang-undangan dipublikasikan secara lengkap oleh pemerintah ataupun
lembaga negara.
2)
tidak setiap warga negara tahu dan
mengerti tentang Undang-undang yang telah disahkan dan diberlakukan;
3)
setiap warga negara memiliki
keterbatasan untuk mengetahui setiap aturan baru yang telah diberlakukan karena
adanya keterbatasan secara Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
Solusi
“.....dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran....”
“sampaikan dariku
sekalipun satu ayat....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar