Senin, 09 Februari 2015

fiksi hukum, menyerbarkan ilmu



FIKSI HUKUM

Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure)

setiap orang –miskin atau kaya, orang hukum atau bukan, dianggap tahu hukum. yang lazim disebut fiksi hukum (rechtfictie).

Dalam sebuah fiksi hukum, siapapun tanpa kecuali dianggap tahu hukum. Menjadi kesalahan besar jika seseorang tidak tahu hukum (ignorante legs est lata culpa). Dalam bahasa sederhana, seseorang tidak bisa ngeles bahwa ia tidak tahu hukum jika suatu saat harus mempertanggungjawabkan sesuatu di depan hukum.

Sebuah cerita :

Zeus yang memimpin dewa-dewi Olympus setelah memenangkan peperangan melawan para raksasa Titan dan Kronos, segara mengambil tindakan. Keteraturan harus kembali dipulihkan. Hanya dengan keteraturan saja kehidupan akan berjalan menuju kedamaian dan harmoni.

Untuk membantu memulihkan kembali ketertiban dan menegakan hukum, Zeus mengutus dua orang dewi: Yustisia dan Themis. Yustisia bertugas sebagai dewi keadilan dan penghukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran atas sabda Zeus serta berbuat zalim pada sesama, tak peduli ia manusia bahkan dewa sekalipun. Karena itulah Zeus menutup mata Yustisia, sehingga ia tak akan ragu mengayunkan pedang yang ada di tangannya sebagai hukuman bagi para para pendosa tanpa pandang bulu. Themis memiliki tugas yang berbeda. Ia bertugas mencatat semua sabda dan perintah Zeus kemudian menyebarkannya kepada manusia dan para dewa, sehingga mereka tahu apa kehendak Zeus yang tidak lain merupakan hukum yang harus ditaati tanpa pengecualian.

Yustisia dan Themis bekerja dalam sinergi. Tak akan ada penghukuman bila tidak ada hukum yang mengaturnya. Tak akan ada penghukuman bila semua orang tidak mengetahui hukum dan peraturan yang harus ditaati. Pedang Yustisia tidak akan terayun bila pena Themis tidak mencatat sabda Zeus dan mengabarkannya pada manusia serta para dewa.

Cerita yang lain :

Kebiasaan Raja Hamurabi dari Babylonia (2000 SM) yang mendirikan tugu peringatan di tempat-tempat publik setiap kali dia mengeluarkan hukum dan peraturan yang baru bagi rakyatnya. Dalam tugu peringatan yang kemudian dikenal dengan Kode Hamurabi itu tertera perintah-perintah raja Hamurabi yang dipahatkan di permukaan tugu tersebut, sehingga semua orang dapat membacanya, mengetahuinya, untuk kemudian mematuhinya.

Saat ini

Sebelum lahir (masih dalam kandungan) sampai dengan mati, kehidupan seseorang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan.

Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan putusan MK No. 001/PUU-V/2007 memuat prinsip yang sama: “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf”.

Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”.

Faktanya

1)        Tidak setiap peraturan perundang-undangan dipublikasikan secara lengkap oleh pemerintah ataupun lembaga negara.
2)        tidak setiap warga negara tahu dan mengerti tentang Undang-undang yang telah disahkan dan diberlakukan;
3)        setiap warga negara memiliki keterbatasan untuk mengetahui setiap aturan baru yang telah diberlakukan karena adanya keterbatasan secara Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;

Solusi

“.....dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran....”

“sampaikan dariku sekalipun satu ayat....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar