Selasa, 31 Desember 2013

Perkawinan Siri

DAMPAK NEGATIF KAWIN SIRI DI DALAM KELUARGA[1]
Oleh : Erni Lestari[2]

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar belakang.

Pro dan kontra tentang nikah siri selalu menarik banyak kalangan dan semakin menarik dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). MK melakukan pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang diajukan oleh Ny.Aisyah Machica Moektar yang mengaku menikah secara siri dan telah mempunyai anak dari hasil pernikahan tersebut, namun berdasarkan UUP, anaknya tidak mempunyai hak ataupun status hukum dari ayahnya, sehingga melakukan pengujian terhadap Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut dan diterima sebagai perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan MK memberikan putusan bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP, harus dibaca dengan kalimat : “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kemudian sebagai respon dari Putusan MK tersebut MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 11 tahun 2012 tanggal 10 maret 2012 tentang Kedudukan anak hasil zina dan perlakuaan terhadapnya, yang intinya anak yang lahir di luar pernikahan yang sah hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya namun pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki yang mengakibatkan lahirnya anak tersebut dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Fenomena pernikahan di bawah tangan bukan karena terkuaknya pernikahan di bawah tangan Farhat Abbas (suami artis Nia Daniati) dengan salah seorang mojang asal Bandung beberapa waktu lalu, namun keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima' yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur. Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini cukup alot. Terhadap kasus tersebut, peserta ijtima' sepakat bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun, nikah tersebut menjadi haram apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya telantar[3].
Keinginan pemerintah untuk memberikan aturan hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.

B.            Permasalahan.

Terlepas dari ketentuan dan aturan hukum tersebut diatas, pernikahan siri selalu dilakukan oleh seorang laki-laki yang telah berkeluarga, pernikahan siri yang dilakukan tidak dinyatakan sebelumnya pada saat nikah resmi dengan perempuan yang menjadi istrinya, namun pernikahan siri yang dilakukan selalu beralasan dengan permasalahan yang dihadapi bersama istrinya sekarang, yang akhirnya pernikahan siri yang dilakukan membawa dampak negatif terhadap keluarganya, dan kemudian yang menjadi permasalahan adalah apa sajakah dampak negatif nikah siri di dalam keluarga ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Nikah Siri.

Pernikahan atau nikah artinya menurut bahasa adalah berkumpul[4] atau menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[5]. Pengertian akad nikah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 c Kompilasi Hukum Islam (KHI) ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
Dalam hukum nasional, tidak mengenal kata pernikahan, yang dikenal adalah perkawinan sebagaimana dalam UUP, yang menurut terminologi bahasa berasal dari kata kawin dan tertera dalam identitas masyarakat indonesia (KTP), namun kata nikah ada dalam buku nikah pada setiap masyarakat yang melakukan pernikahan tercatat, meskipun begitu Pasal 2 KHI menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan.
Kata “siri” berasal dari terminologi Arab yaitu “sirran” dan “sirriyyun”. Sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Sehingga kemudian dikenal istilah nikah siri yang artinya nikah secara rahasia (secret marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi namun tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan tersebut menurut agama Islam sudah sah[6].
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dengan memenuhi syarat dan rukun nikah[7], karena tanpa wali atau wali yang tidak memenuhi syarat maka nikahnya batal misalnya menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya sehingga nikah siri tersebut statusnya batal dan wajib dipisahkan, sebagaimana hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb) dan hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)[8] dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam[9]. Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan: Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi (KUA) sebagaimana firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59). Pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah. Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis[10]. Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita. Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara, misalnya KTP, KK, SIM dan sebagainya[11].
Untuk beristri lebih dari seorang[12], sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau tidak dapat melahirkan keturunan[13] dengan syarat adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka[14].

B.            Pengertian keluarga.

Pasal 1 UUP jelas menyebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata keluarga dalam pasal tersebut, mempunyai arti jika merujuk pada bahasa Sansekerta, berbunyi kulawarga; ras dan warga yang berarti anggota[15] sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) : Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan[16]. Sedangkan menurut BKKBN (1999) keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya[17].
Beberapa ahli memberikan pendapatnya tentang keluarga, antara lain : Dhurkeim yang berpendapat bahwa keluarga adalah lembaga sosial sebagai hasil faktor-faktor politik, ekonomi dan lingkungan[18]. Salvicion dan Ara Celis (1989) menyatakan keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan[19]. Menurut Minuchin (dalam H.Sofyan S.Willis, 2008 : 50) mengatakan bahwa keluarga adalah “Multibodied organism” organisme yang terdiri dari banyak badan. Keluarga adalah satu kesatuan (entity) atau organisme. Ia bukanlah merupakan kumpulan (collection) individu-individu. Ibarat amoeba, keluarga mempunyai komponen-komponen yang membentuk keluarga itu[20].
Pengertian keluarga juga diterangkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
C.            Dampak Negatif Di Dalam Keluarga.

Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[21], mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah[22]. Bahwa arti dari sakinah adalah tenteram, mawadah adalah cinta- mencintai dan rahma adalah santun menyantuni[23]. Sehingga perkawinan siri dengan alasan untuk menghindari zina atau faktor ekonomi[24] maupun akan dapat berlaku adil[25] adalah alasan yang tidak benar.
Dalam UUP dan KHI, telah diatur hak dan kewajiban suami istri yang melakukan perkawinan secara sah menurut agama dan negara serta diatur pula hak dan kewajiban orang tua dengan anaknya. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat[26]. jika masing-masing melalaikan kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan[27], kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri. Suami sebagai pembimbing, pelindung[28] dan pendidik[29] istrinya dan menanggung seluruh biaya hidup[30] dan jika suami mempunyai istri lebih dari seorang maka biaya yang diberikan kepada istrinya harus seimbang[31]. Namun hal tersebut tidak akan terjadi jika ada perkawinan siri yang jelas dilakukan secara tersembunyi, tidak diketahui oleh pihak lain, apalagi oleh keluarga utamanya. Selain itu dampak negatif nikah siri bagi istri siri dan anak hasil nikah siri[32], adalah :
1.             Kehilangan dan tidak terpenuhinya hak-hak (nafkah lahir dan batin) seorang istri dan anak yang sah secara hukum.
2.             Jika terjadi perpisahan, tidak berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono gini.
3.             Meski diakui secara agama maupun adat istiadat, dianggap tidak sah oleh negara sehingga tidak dapat melakukan gugatan ke pengadilan terhadap suaminya jika melakukan pelanggaran perkawinan.
4.             Tidak berhak mendapatkan warisan.
5.             Dapat dikenakan pidana yaitu tindak pidana kejahatan dalam perkawinan.
6.             Istri dapat menikah lagi dengan laki-laki lain sehingga akan terjadi poliandri yang tentu saja lebih berbahaya lagi, karena dilarang secara syariat[33].


BAB III
KESIMPULAN

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai tujuan perkawinan dengan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (tenteram), mawadah (cinta- mencintai) dan rahma (santun menyantuni), diperlukan perkawinan yang sah, karena perkawinan siri atau yang disebut pernikahan atau perkawinan di bawah tangan dengan alasan ataupun tujuan yang berbeda dari tujuan perkawinan yang sah secara agama maupun negara tidak akan mencapai tujuan perkawinan yang sebenarnya, karena mempunyai dampak negatif, baik bagi istri dan anaknya yang sah, istri dan atau anaknya yang berasal dari perkawinan siri maupun bagi suami yang melakukan perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan.



DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jilid 1, Cetakan Pertama, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003, hal.115.

Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah), 17 Juni 2012, Hukum Nikah Siri, http://www.konsultasisyariah.com/nikah-siri-tanpa-sepengatahuan-orang-tua/, diakses 26 Desember 2013.
Aulia adinda, 22 Oktober 2012, pengertian keluarga inti dan keluarga besar serta fungsi keluarga, http://auliaadindadinda.blogspot.com/2012/10/pengertian-keluarga-inti-dan-keluarga.html, diakses 29 November 2013
Femina, Resiko Menikah Siri, http://www.femina.co.id/isu.wanita/anda.pria/risiko.menikah.siri/005/003/38, diakses 24 Desember 2013.
Hukum Online, 24 Oktober 2006, Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum, diakses 27 Desember 2013.
Hukum Online, 24 Oktober 2006, Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum, diakses 27 Desember 2013.
Irma Devita, Akibat Nikah Siri, http://irmadevita.com/2013/akibat-hukum-dari-nikah-siri/, diakses 26 Desember 2013.
Imroatus Solikah, Aminah Dewi Rahmawati dan Iskandar Dzulkarnain, Eksistensi Keluarga Yang Menikah Siri Dalam Masyarakat Desa Gili Anyar Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan, http://pta.trunojoyo.ac.id/uploads/journals/090521100026/090521100026.pdf, diakses 29 Desember 2013.
Oka Widiawan, 4 Desember 2010, Pengertian Keluarga dan Fungsinya, http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html, diakses 25 November 2013.
Suparyanto, 6 Oktober 2011, Pengertian Keluarga, http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/10/pengertian-keluarga.html, diakses 25 November 2013.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan ke 5, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal.73.
Try Indriadi, 10 April 2012, Seputar Nikah Siri, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f794bfa96a8f/seputar-nikah-siri, diakses 27 Desember 2013.
Wikipedia, 27 November 2013, Pernikahan Dalam Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam, diakses 26 Desember 2013.
Wikipedia, 10 oktober 2013, Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 25 November 2013.
Wikipedia, 27 Desember 2013, Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 29 Desember 2013.




[1] Tugas Makalah Pendidikan Agama Islam Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, 2013.
[2] Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
[3] Hukum Online, 24 Oktober 2006, Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum, diakses 27 Desember 2013.
[4] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jilid 1, Cetakan Pertama, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003, hal.115.
[5] Wikipedia, 27 November 2013, Pernikahan Dalam Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam, diakses 26 Desember 2013.
[6] Try Indriadi, 10 April 2012, Seputar Nikah Siri, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f794bfa96a8f/seputar-nikah-siri, diakses 27 Desember 2013.
[7] Rukun nikah : Pengantin laki-laki, Pengantin perempuan, Wali, Dua orang saksi laki-laki,Mahar, Ijab dan kabul (akad nikah), lihat Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
[8] Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah), 17 Juni 2012, Hukum Nikah Siri, http://www.konsultasisyariah.com/nikah-siri-tanpa-sepengatahuan-orang-tua/, diakses 26 Desember 2013.
[9] Irma Devita, Akibat Nikah Siri, http://irmadevita.com/2013/akibat-hukum-dari-nikah-siri/, diakses 26 Desember 2013.
[10] Lihat Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam.
[11] Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah), 17 Juni 2012, Hukum Nikah Siri, http://www.konsultasisyariah.com/nikah-siri-tanpa-sepengatahuan-orang-tua/, diakses 26 Desember 2013.
[12] Lihat Pasal 3 UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[13] Lihat Pasal 4 ayat (2) UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[14] Lihat Pasal 5 ayat (1) UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[15] Wikipedia, 10 oktober 2013, Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 25 November 2013.
[16] Oka Widiawan, 4 Desember 2010, Pengertian Keluarga dan Fungsinya, http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html, diakses 25 November 2013.
[17] Suparyanto, 6 Oktober 2011, Pengertian Keluarga, http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/10/pengertian-keluarga.html, diakses 25 November 2013.
[18] ibid.
[19] Oka Widiawan, opcit.
[20] Aulia adinda, 22 Oktober 2012, pengertian keluarga inti dan keluarga besar serta fungsi keluarga, http://auliaadindadinda.blogspot.com/2012/10/pengertian-keluarga-inti-dan-keluarga.html, diakses 29 November 2013.
[21] Lihat Pasal 1 UU Perkawinan.
[22] Lihat Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.
[23] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan ke 5, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal.73.
[24] Imroatus Solikah, Aminah Dewi Rahmawati dan Iskandar Dzulkarnain, Eksistensi Keluarga Yang Menikah Siri Dalam Masyarakat Desa Gili Anyar Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan, http://pta.trunojoyo.ac.id/uploads/journals/090521100026/090521100026.pdf, diakses 29 Desember 2013.
[25] Ibrahim Hosen, opcit, hal.140.
[26] Lihat Pasal 31 UU Perkawinan.
[27] Lihat Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan
[28] Wikipedia, 27 Desember 2013, Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 29 Desember 2013.
[29] ibid.
[30] Lihat Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam.
[31] Lihat Pasal 82 Kompilasi Hukum Islam.
[32] Femina, Resiko Menikah Siri, http://www.femina.co.id/isu.wanita/anda.pria/risiko.menikah.siri/005/003/38, diakses 24 Desember 2013.
[33] Hukum Online, 24 Oktober 2006, Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum, diakses 27 Desember 2013.

Senin, 23 Desember 2013

Kartu Kredit dan KreditTanpa Agunan

MENGGUNAKAN KARTU KREDIT DAN KREDIT TANPA AGUNAN[1]
Oleh : Agus Christianto[2]


Pendahuluan.

Penawaran tentang proses belanja dengan cepat dengan menggunakan fitur contactless (untuk kartu Gold & Silver contactless), Fasilitas Verified by Visa untuk keamanan transaksi online, dapatkan dana tunai dengan kemudahan mencicil sampai 12 kali dengan bunga ringan, pembelian barang dengan cicilan ringan dengan jangka waktu hingga 12 bulan serta bunga hingga 0% (selama program), fasilitas ubah pembelian barang menjadi cicilan dengan bunga ringan 0,99% per bulan, setiap pembelanjaan dengan kartu kredit sebesar Rp 2.500,- akan mandapatkan satu power point yang bisa anda tukarkan dengan berbagai penawaran menarik, kemudahan pembayaran berbagai tagihan rutin bulanan dalam satu lembar tagihan atau fasilitas kredit untuk memenuhi berbagai kebutuhan Anda dengan mudah, fasilitas pinjaman yang diberikan kepada perorangan berstatus pegawai yang belum menyalurkan penghasilannya melalui Bank, fasilitas pinjaman yang diberikan kepada perorangan berstatus pegawai yang sudah menyalurkan penghasilannya melalui Bank, fasilitas untuk memindahkan pinjaman yang telah berjalan (existing) dengan keuntungan berupa suku bunga yang kompetitif dan tambahan limit pinjaman, fasilitas penambahan limit yang telah berjalan (existing), fasilitas pinjaman yang diberikan kepada perorangan yang merupakan nasabah Tabungan Rencana atau Deposito, fasilitas pinjaman yang diberikan kepada kepada perorangan yang merupakan pemegang kartu kredit dengan kriteria tertentu, fasilitas pinjaman yang diberikan kepada karyawan perusahaan terpilih yang belum menyalurkan penghasilannya melalui Bank, fasilitas pinjaman tanpa agunan yang diberikan kepada karyawan perusahaan mitra Bank. Dan dapatkan keuntungan : Proses mudah dan tanpa agunan, Cicilan Ringan, Limit kredit sampai dengan 200 Juta, Jangka waktu kredit hingga 60 bulan, Perlindungan Asuransi Jiwa. Dan dikenakan biaya 2-3,5% dari limit kredit (tergantung tipe produk) dan biaya dipotong langsung dari limit kredit yang disetujui, dengan cara mendebet rekening Anda dari Bank.
Kedua penawaran tersebut adalah penawaran kartu kredit dan kredit tanpa agunan dari sebuah Bank, permasalahan yang timbul kemudian adalah adanya kredit macet dari dua produk bank tersebut sehingga bagaimanakah menggunakan kartu kredit dan kredit tanpa agunan secara baik dan apa yang dapat dilakukan jika terjadi masalah?

Kartu Kredit.

Kartu Kredit (credit card) dalam Black's Law Dictionary disebutkan sebagai any card, plate or other like credit devise existing for the purpose of obtaining money, property, labor or services on credit. the term does not include a note, check, draft, money order or other like negotoable instrument[3]. Dalam Expert Dictionary didefinisikan: ”kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkannya secara hutang. Sementara dalam kamus Ekonomi Arab menjelaskan, ”sejenis kartu khusus yang dikeluarkan oleh pihak bank sebagai pengeluar kartu, lalu jumlahnya akan dibayar kemudian. Pihak bank akan memberikan kepada nasabahnya itu rekening bulanan secara global untuk dibayar, atau untuk langsung didebet dari rekeningnya yang masih berfungsi” (Ahmad Zaki Badwi 1984, hal. 62)[4]. Kamus Hukum Ekonomi, menyatakan bahwa Kartu Kredit (credit card) adalah kartu yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga lain yang diterbitkan dengan tujuan untuk mendapatkan uang, barang atau jasa secara kredit[5]. Menurut Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, kartu kredit adalah alat pembayaran melalui jasa bank/perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang/jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari bank/perusahaan pembiayaan. kartu kredit tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu kredit. berdasarkan perjanjian tersebut, pemegang kartu berhak memperoleh pinjaman dana dari bank/perusahaan pembiayaan[6]. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/09 tahun 2009, Kartu Kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran[7].
Kredit Tanpa Agunan.

Kata kredit berasal dari bahasa latin creditus, berasal dari kata credere (romawi)[8] atau credo atau creditum yang berarti to trust atau faith[9] yang artinya kepercayaan, namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kredit adalah pinjaman[10] uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga[11]. Sedangkan Agunan dari kata agun yang berarti tanggungan atau jaminan, istilah jaminan sendiri merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu "zekerheid" atau "cautie", yang secara umum artinya merupakan cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya[12]. Pada dasarnya, pemakaian istilah jaminan dan agunan adalah sama. Namun, dalam praktek perbankan istilah di bedakan[13], yaitu Istilah jaminan[14] mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan istilah agunan[15] diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.
Sehingga Kredit tanpa anggunan dapat diartikan sebagai pinjaman uang tanpa disertai anggunan dengan pembayaran secara mengangsur. Kredit tanpa anggunan dapat juga dikatakan sebagai pinjaman tanpa jaminan atau juga dikenal dengan istilah unsecured loans, merupakan pinjaman tanpa adanya suatu aset yang dijadikan jaminan atas pinjaman tersebut. Oleh karena tidak adanya jaminan yang menjamin pinjaman tersebut maka keputusan pemberian kredit semata adalah berdasarkan pada riwayat kredit dari pemohon kredit secara pribadi, atau dalam arti kata lain bahwa kemampuan melaksanakan kewajiban pembayaran kembali pinjaman adalah merupakan pengganti jaminan[16].

Syarat Sahnya Perjanjian Kredit.

Pada dasarnya perjanjian kredit berasal dari perjanjian pada umumnya, oleh karenanya syarat sah perjanjian tersebut sama halnya dengan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan 4 syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan hal yang diperbolehkan (halal). Kedua syarat yang pertama, yaitu sepakat dan cakap adalah unsur subyektif, dalam arti jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan kedua syarat kedua, yaitu suatu hal tertentu dan hal yang diperbolehkan (halal) adalah unsur obyektif, dalam arti jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian baku (standard contract) di mana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit bank tersebut dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko) tetapi tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan dan persyaratan perjanjian kredit telah dibakukan terlebih dahulu oleh pihak perbankan. Calon nasabah debitur tinggal membubuhkan tandatangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian kredit tersebut[17]. Perjanjian standar (baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, Plato (423-347 SM) misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut[18]. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen[19]. Adanya klausula baku yang dibuat oleh bank membuat posisi konsumen menjadi lemah sehingga dalam UUPK tersebut dibuat aturan tentang klausula baku yang dilarang[20].

Penggunaan Kredit.

Penggunaan Kredit harus dilakukan dengan cara yang benar, berikut penggunaan kartu kredit dan kredit tanpa agunan yang dapat dijadikan tips dalam setiap penggunaan.
Penggunaan Kartu Kredit secara bijak[21] yaitu dengan cara :
1.        Tidak memiliki banyak kartu kredit karena akan membebani dalam membayar iuran tahunan dan menambah godaan untuk berbelanja lebih banyak lagi. Maksimal 2 kartu kredit saja yang dimiliki. pertimbangkan suku bunga, limit pengambilan uang dan manfaat yang ditawarkan.
2.        Mencatat pembelian menggunakan kartu kredit serta cocokan dengan lembar tagihan untuk memastikan apakah konsumen benar-benar melakukan pembelian tersebut.
3.        Usahakan membayar tagihan tepat waktu agar tidak terbebani oleh bunga yang besar dan berhemat untuk disiplin dalam pembayaran kartu kredit.
4.        Hindari penggunaan kartu kredit untuk tarik tunai karena bunga penarikan tunai memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan bunga untuk pembelanjaan.
5.        Waspadai penipuan kartu kredit baik melalui telepon atau internet. konsumen dihimbau tidak memberitahukan nomor kartu kredit, tanggal jatuh tempo atau informasi lainnya kepada orang yang tidak dikenal. jangan meminjamkan kartu kredit kepada orang lain.
Sedangkan Penggunaan Kredit Tanpa Agunan secara bijak adalah :
1.        Pengajuan sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan usia, pekerjaan dan penghasilan.
2.        Pemakaian uang sesuai pengajuan, tidak digunakan untuk kepentingan yang lain.
3.        Hemat dalam pemakaian dan Pembayaran angsuran tepat waktu.
4.        Buat antisipasi atau siapkan rencana B untuk antisipasi jika usaha ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Harus dipikirkan sejak awal bagaimana cara agar kredit tersebut tidak sampai macet. Hitung semua faktor resiko yang mungkin muncul dan buat antisipasinya. Antisipasi dini diperlukan agar jika kemungkinan terburuk terjadi[22].

Penyelamatan Kredit Macet.

Meski telah diperhitungkan dan diantisipasi segala kemungkinan terburuk, terjadinya kredit macet tetap saja terjadi yang mengakibatkan hubungan antara debitur dan kreditur tidak harmonis. Terjadinya kredit macet terjadi karena faktor internal para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap eksistensi kredit yang bersangkutan. Beberapa faktor penting yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual, meliputi[23] :
1.        Wanprestasi adalah perbuatan debitur yang dinyatakan lalai dalam memenuhi prestasinya yang dinyatakan oleh kreditur (in mora stelling, ingebereke stelling) yang dibuat secara tertulis (Pasal 1238 KUH Perdata - bevel of sortgelijke akte)[24] yang diwujudkan dalam bentuk somasi[25] sehingga kreditur dapat meminta ganti rugi.
2.        Overmacht (force majeure, daya paksa) adalah peristiwa yang tidak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenanya tidak dpaat dipersalahkan serta tidak menanggung resiko atas kejadian tersebut[26].
3.        Keadaan sulit (Hardship), yang dikenal dalam praktik perdagangan internasional, yaitu aturan tentang yang menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tuntuk pada ketentuan tentang hardship[27].
Faktor-faktor tersebut menjadikan kredit yang ada dalam kondisi bermasalah. Untuk menyelesaikan kredit bermasalah ada dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit[28].
Penyelamatan kredit adalah suatu proses, cara atau perbuatan untuk menyelematkan kredit bermasalah oleh kreditur yang bekerja sama dengan debitur sehingga kredit dapat berjalan kembali. Penyelamatan Kredit (restructed loan) disebut juga restrukturisasi kredit. Penyelamatan kredit[29] dilakukan dengan cara :
1.        Penurunan suku bunga kredit.
2.        Pengurangan tunggakan bunga kredit.
3.        Pengurangan tunggakan pokok kredit.
4.        Perpanjangan jangka waktu kredit.
5.        Penambahan Fasilitas kredit.
6.        Novasi (pembaharuan Hutang)
7.        Subrogasi (penggantian hutang oleh pihak ketiga)
8.        Management Assistancy[30].
Sedangkan penyelesaian kredit adalah proses pengakhiran kredit. Kredit dapat dikatakan berakhir dikarenakan :
1.        Penghapusan piutang (bila salah satu pihak tidak ada lagi).
2.        Pengakhiran kredit melalui gugatan di pengadilan.

Kesimpulan.

Menggunakan kartu kredit atau kredit tanpa agunan harus dilakukan dengan cara yang benar dan bijak, harus dipikirkan kemampuan bayar dan akibat yang akan ditimbulkan kemudian, jangan tergoda dengan kemudahan atau fasilitas yang ada, prinsip hati-hati dapat diterapkan sebelum memiliki kartu kredit atau mengambil kredit tanpa agunan.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi pertama, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2010.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Elly Erawaty dkk, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Cetakan Pertama, Proyek ELIPS 2000, Jakarta, 2000.
Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1983.
J. Satrio, Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, bandung, 2012.
Johannes Ibrahim, Kartu Kredit, Dilematis antara Kontrak dan kejahatan, Cetakan kedua, refika Aditama, Bandung, 2010.
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Cetakan kedua, Alpabeta, Bandung, 2004.

Internet :

Arhiem, 30 Desember 2008, Prinsip-prinsip Dasar (Agunan atau Jaminan), http://hukumperbankan.blogspot.com/2008/12/prinsip-prinsip-dasar-agunan-atau.html, diakses 18 Desember 2013.
Belajar Tentang Investasi, Keuangan dan Perbankan, Penyelesaian Kredit Bermasalah (Bag.1), http://arsasi.wordpress.com/2009/03/02/penyelesaian-kredit-bermasalah-bag1/, diakses 18 Desember 2013.
Dompet Pintar.Com, 7 Tips Menggunakan Kredit Untuk Usaha, http://www.dompetpintar.com/article/r1lc/7-tips-menggunakan-kredit-untuk-usaha, diakses 18 Desember 2013.
Indonesia Rebate Forex, Pengertian Kartu Kredit, http://rebatetraderindonesia.weebly.com/pengertian-kartu-kredit.html, diakses 17 Desember 2013.
Wikipedia, 6 April 2013, Pinjaman Tanpa Jaminan, http://id.wikipedia.org/wiki/Pinjaman_tanpa_jaminan, diakses 17 desember 2013.
Wikipedia, 15 Mei 2013, Kredit, http://id.wikipedia.org/wiki/Kredit, diakses 17 desember 2013.




[1] Makalah disampaikan pada acara Diklat dan Rekrutmen oleh Riba Crisis Center di Boyolali, 22 Desember 2013.
[2] Pemakai Kartu Kredit & Debitur Perbankan.
[3] Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1983 hal.369.
[4] Indonesia Rebate Forex, Pengertian Kartu Kredit, http://rebatetraderindonesia.weebly.com/pengertian-kartu-kredit.html, diakses 17 Desember 2013.
[5] Elly Erawaty dkk, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Cetakan Pertama, Proyek ELIPS 2000, Jakarta, 2000, hal.37.
[6] Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.115.
[7] Lihat pasal 1 butir 4.
[8] Johannes Ibrahim, Kartu Kredit, Dilematis antara Kontrak dan kejahatan, Cetakan kedua, refika Aditama, Bandung, 2010, hal.7.
[9] Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.263.
[10] wikipedia, 15 Mei 2013, Kredit, http://id.wikipedia.org/wiki/Kredit, diakses 17 desember 2013.
[11] Lihat Pasal 1 butir 11.
[12] Arhiem, 30 Desember 2008, Prinsip-prinsip Dasar (Agunan atau Jaminan), http://hukumperbankan.blogspot.com/2008/12/prinsip-prinsip-dasar-agunan-atau.html, diakses 18 Desember 2013.
[13] ibid.
[14] Lihat SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991.
[15] Lihat Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998.
[16] wikipedia, 6 April 2013, Pinjaman Tanpa Jaminan, http://id.wikipedia.org/wiki/Pinjaman_tanpa_jaminan, diakses 17 desember 2013.
[17] Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, opcit, hal.321.
[18] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.138.
[19] Lihat pasal 1 butir 10.
[20] Lihat Pasal 18.
[21] Lihat website Badan Perlindungan Konsumen Nasional, http://www.bpkn.go.id/
[22] Dompet Pintar.Com, 7 Tips Menggunakan Kredit Untuk Usaha, http://www.dompetpintar.com/article/r1lc/7-tips-menggunakan-kredit-untuk-usaha, diakses 18 Desember 2013.
[23] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi pertama, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2010, hal.260.
[24] ibid, hal.261.
[25] J. Satrio, Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, bandung, 2012, hal.22.
[26] Agus Yudha Hernoko, opcit, hal.271-272.
[27] ibid, hal.281.
[28] Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Cetakan kedua, Alpabeta, Bandung, 2004, hal.264-265.
[29] ibid, hal.267-270.
[30] Belajar Tentang Investasi, Keuangan dan Perbankan, Penyelesaian Kredit Bermasalah (Bag.1), http://arsasi.wordpress.com/2009/03/02/penyelesaian-kredit-bermasalah-bag1/, diakses 18 Desember 2013.