Kamis, 20 Desember 2012

FGD Penyusunan RUU ttg Hak Cipta













FGD Penyusunan RUU ttg Hak Cipta
18 Desember 2012 
Hotel Maharadja Jakarta

Dibuka oleh Karo Bankum Divkum Polri 

Pembicara 


1) Dirjen HAKI (Kementerian Hukum dan HAM) dengan pokok bahasan : “Kebijakan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Dalam menyikapi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terkait Perubahan Undang-undang Hak Cipta”;
2) Prof. Dr. Agus Sardjono SH., MH. (pakar hukum HAKI) dengan pokok bahasan : “Pembangunan Politik Hukum dalam Memberikan Perlindungan atas Hak Moral dan Ekonomi Pencipta atau Hak Cipta dari Perbuatan Melawan Hukum”;
3) Wadir Tipideksus Bareskrim Polri dengan pokok bahasan : “Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Hak Cipta dan Solusi yang Diharapkan Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum serta Kerja Lain”.

Dilanjutkan Tanya jawab dan Diskusi

Ditutup oleh Karo Sunluhkum Divkum Polri 

Kamis, 13 Desember 2012

FGD RUU Hak Cipta

Pasal 86 
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hak kekayaan intelektual diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana Hak Cipta.

Rabu, 17 Oktober 2012

PERBUATAN MELAWAN HUKUM


(analisa pribadi)

menurut saya,....Perbuatan melawan hukum adalah tingkah laku, tindakan atau kelakuan yang bertentangan dengan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Jadi yang dicari adalah :
1.         Perbuatan yang telah dilakukan,
2.         Adanya akibat (kerugian) dari perbuatan tersebut, dan
3.         Perbuatan tersebut bertentangan dengan aturan yang ada.

Jika perbuatan itu ada aturan dengan ancaman hukuman, maka pelakunya dihukum sesuai aturan tersebut, dan bila perbuatan itu mendatangkan kerugian bagi orang lain maka pelakunya wajib memberikan ganti kerugian.


Kamis, 06 September 2012

Peraturan dan Keputusan Polri


Peraturan (regeling) bersifat mengatur secara umum, sedangkan Keputusan bersifat kongkret dan individual (beschikking)

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2007 tentang Naskah Dinas di Lingkungan Polri

Pasal 1 butir 4 :
Peraturan adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian yang berwenang dan memuat kebijakan yang bersifat mengatur dan mengikat secara umum.

Pasal 1 butir 5 :
Keputusan adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian yang berwenang yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau organisasi Polri.

Pembuatan Peraturan Kepolisian memedomani Peraturan Kepaolri Nomor 26 tahun 2010 tentang tata cara pembentukan peraturan kepolisian, sedangkan pembuatan Keputusan memedomani Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2007 tentang Naskah Dinas di Lingkungan Polri.n

Selasa, 28 Agustus 2012

Indikator kinerja

Kerja fungsi kepolisian untuk mendapatkan hasil yang lebih baik diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 18 tahun 2012 ttg Penyusunan Indikator Kinerja Utama Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia 

Kamis, 23 Agustus 2012

Definisi Penyelidikan


Definisi

1.        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 1 butir 4
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 1 butir 5
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

2.        Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pasal 1 butir 5
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 18
(1)      Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2)      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.

3.        Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia.

Pasal 1 butir 8
Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 1 butir 9
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

4.        Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Pasal 1 huruf s
Tindakan Pemeriksaan adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas perpajakan dalam rangka melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, untuk mencari bahan-bahan guna penghitungan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang harus dibayar.

Pasal 29
(1)      Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)      Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan harus memperlihatkannya kepadaWajib Pajak yang diperiksa.

5.        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pasal 1 butir 7
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana.

Pasal 64
(1)      PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain.
(2)      Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
(3)      Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK.

6.        Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

Pasal 1 butir 30
Intelijen Keimigrasian adalah kegiatan penyelidikan Keimigrasian dan pengamanan Keimigrasian dalam rangka proses penyajian informasi melalui analisis guna menetapkan perkiraan keadaan Keimigrasian yang dihadapi atau yang akan dihadapi.

Pasal 9
(1)      Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(2)      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan dokumen perjalanan dan/atau identitas diri yang sah.
(3)      Dalam hal terdapat keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau identitas diri seseorang, Pejabat Imigrasi berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan dan dapat dilanjutkan dengan proses penyelidikan Keimigrasian.

Rabu, 15 Agustus 2012

Rencana Strategi


Rencana Strategis yang selanjutnya disingkat Renstra adalah pedoman atas suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, kendala dan ancaman yang dihadapi.
Perencanaan Strategis adalah perencanaan untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, sehingga diperlukan suatu telaahan yang memuat tentang setiap perkembangan dan perubahan lingkungan strategis untuk mengetahui sejauhmana mempengaruhi pelaksanaan tugas Polri dan mempersiapkan berbagai alternatif strategis untuk menghadapinya.


Untuk membuat rencana strategi Polri diatur dalam Perkap 17 tahun 2012 (download)

Selasa, 31 Juli 2012

Pemeriksaan Setempat (Gerechtelijk Plaatsopneming)


Pengertian


Pemeriksaan setempat tidak masuk alat bukti, namun pemeriksaan setempat menjadi penting untuk membuktikan kejelasan dan kepastian tentang lokasi (TKP). Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 153 HIR. Secara konsepsional, pemeriksaan setempat adalah proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan di ruang sidang gedung pengadilan, dipindahkan atau dilakukan di tempat lain, yaitu TKP.
Hasil pemeriksaan setempat nanti berguna sebagai dasar pertimbangan oleh hakim, sehingga putusan tidak kabur (obscuur libel).


Syarat-syarat pemeriksaan setempat adalah sebagai berikut (Vide Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG dan Pasal 211 Rv):
a. dihadiri para pihak;
b. datang ke TKP;
c. panitera membuat berita acara;
d. hakim membuat akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan yang dilakukan. 
 

Jumat, 27 Juli 2012

Peraturan Kapolri

1. Perkap 13 Tahun 2012 ttg Tata Cara Pemberian Cuti Dan Izin Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Perkap 14 Tahun 2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 
3. Perkap 15 Tahun 2012 ttg Tata Cara Pengambilan Sumpah Atau Janji Perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia Lulusan Akademi Kepolisian.
4. Perkap 16 Tahun 2012 ttg Mutasi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selasa, 24 Juli 2012

Pendapat dan Saran Hukum


FORMAT PEMBUATAN PENDAPAT DAN SARAN HUKUM (PSH)


Dasar : ST Kapolri Nomor : ST / 2663 / X / 2010, tanggal 11 Oktober 2010


1. Rujukan.
Adanya permohonan peninjauan kembali, Permohonan perlindungan hukum, Pengaduan, Permohonan untuk dilaksanakan sidang disiplin atau KKEP, Produk intelejen yang dapat dikembangkan sehingga bermanfaat dalam melindungi anggota dan institusi Polri, Hal lain demi kepentingan hukum bagi anggota dan institusi Polri


2. Posisi Kasus.
Jelaskan dengan singkat, padat dan lengkap mengenai masalah yang akan dianalisis


3. Fakta-fakta.
Mengemukakan keterangan-keterangan, perbuatan-perbuatan, alat bukti dan hal lain yang dapat dipertimbangkan (yang meringankan dan memberatkan).


4. Pasal Persangkaan
Terdiri dari pasal yang diterapkan, baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungan Polri maupun yang berlaku secara umum.


5. Analisis Fakta dan Yuridis.
Pembasanan antara pasal sangkaan dan mengemukakan fakta yang sesuai, sehingga dapat terpenuhi unsur pasal sangkaan.


6. Pendapat dan saran hukum.


a. Pendapat.
Merupakan kesimpulan akhir dari hasil analisis fakta dan yuridis dengan pertimbangan fakta hal lain yang dapat dipertimbangkan.


b. Saran.
Merupakan langkah tindakan atau hal yang dapat dilaksanakan dengan rujukan/dasar pembuatan PSH.


7. Penutup.




RANCANGAN PSH


Dasar : Peraturan Kepala Divisi Hukum Polri Nomor 5 tahun 2011 tentang Prosedur Pembuatan Pendapat dan Saran Hukum


1. Rujukan
Sumber atau permintaan Kasatker, Kasatwil, Anggota Polri dan PNS Polri beserta keluarganya, Purnawirawan, Warakawuri dan Masyarakat.


2. Posisi Kasus atau permasalahan.
Penjelasan singkat, pada dan jelas mengenai masalah yang akan dianalisis.


3. Fakta-fakta.
Berisi keterangan saksi dan/atau terperiksa yang bersumber dari Berita Acara Pemeriksaan serta alat bukti yang ada dalam berkas perkara.


4. Persangkaan.
Terdiri dari pasal yang diterapkan baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungan Polri maupun yang berlaku secara umum atau hal yang dipermasalahkan.


5. Analisa Fakta dan Yuridis
Merupakan kegiatan meneliti, mempelajari dan menganalisa fakta-fakta yang diketemukan dalam berkas perkara dan alat bukti yang tersedia dikaitkan dengan pasal yang dipersangkakan untuk menentukan terpenuhinya syarat hukum secara materiil dan formil.


6. PSH atau Kesimpulan
Merupakan kesimpulan akhir dari hasil analisis fakta dan yuridis serta menyarankan langkah tindakan atau hal yang dapat dilaksanakan untuk menjawab rujukan.

Kamis, 19 Juli 2012

Seragam Kepolisian


KEPUTUSAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


No. Pol. : Skep /  702   /  IX   / 2005 


tentang 


 SEBUTAN, PENGGUNAAN PAKAIAN DINAS
SERAGAM POLRI DAN PNS POLRI


KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
1. Bahwa dalam upaya menertibkan dan menyempurnakan penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri, perlu dilakukan kodifikasi terhadap seluruh ketentuan yang mengatur penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri.
2. Bahwa untuk maksud tersebut, dipandang perlu menetapkan Surat Keputusan.

Mengingat:
1. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Keputusan Kapolri No.Pol. : Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Satuan – satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan –satuan Organisasi pada Tingkat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah ( POLDA ).
5. Keputusan Kapolri No.Pol. : Skep/860/X/2002 tanggal 28 Oktober 2002 tentang Sebutan dan Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Pegawai Negeri Sipil Polri Berikut Atribut dan Kelengkapannya.
6. Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : Skep/994/XII/2002 tanggal 12 Desember 2002 tentang Ketentuan Penggunaan Pakaian Seragam Dinas bagi Polisi Berseragam, Polisi Tidak Berseragam dan Unsur-unsur Staf Pendukung Serta Kasatwil.
7. Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : Skep/432/VII/2003 tanggal 11 Juli 2003 tentang Pakaian Dinas Seragam Polwan Polda NAD dan Perubahan Tulisan Tanda Induk Kesatuan Polda Aceh Menjadi Polda NAD.

Memperhatikan:    Pertimbangan dan Saran Staf Mabes Polri.


M  E  M  U  T  U  S  K  A  N


Menetapkan:


1. Mengesahkan sebutan, Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri sebagaimana yang tercantum dalam lampiran Surat Keputusan ini.

2. Sebutan, Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Pakaian Dinas Seragam Polri.

     1) Pakaian Dinas Seragam Polri Bersifat Umum  :
          a) Pakaian Dinas Upacara (PDU).
          b) Pakaian Dinas Harian (PDH).
          c) Pakaian Dinas Lapangan (PDL).
          d) Pakaian Dinas Parade (PDP).
          e) Pakaian Dinas Sipil Harian (PDSH)

     2) Pakaian Dinas Seragam Polri Bersifat Khusus  :
          a) Pakaian Dinas Samapta
          b) Pakaian Dinas Lalu lintas
          c) Pakaian Dinas Pariwisata
          d) Pakaian Dinas Reserse
          e) Pakaian Dinas Intelkam
          f) Pakaian Dinas Brimob
          g) Pakaian Dinas Pol Air
          h) Pakaian Dinas Pol Udara
          i) Pakaian Dinas Satwa
          j) Pakaian Dinas Satpamkol
          k) Pakaian Dinas Satuan Musik
          l) Pakaian Dinas Provos
          m) Pakaian Dinas Dokkes
          n) Pakaian Dinas Gadik
          o) Pakaian Dinas Pramugari
          p) Pakaian Dinas Forensik
          q) Pakaian Dinas Peliputan

  2. Pakaian Dinas PNS Polri.

     1) Pakaian Dinas PNS Polri Bersifat Umum
          a) Pakaian Dinas Upacara  (PDU)
          b) Pakaian Dinas Harian (PDH)
          c) Pakaian Dinas Sipil Harian  (PDSH)

     2) Pakaian Dinas PNS Polri Bersifat Khusus
          a) Pakaian Dinas PNS Dokkes.
          b) Pakaian Dinas PNS Peliputan

3. Penjelasan sebutan, penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri,  selengkapnya tercantum dalam Lampiran Surat Keputusan ini.

4. Hal – hal yang belum diatur dalam Surat Keputusan ini akan ditetapkan dalam ketentuan tersendiri.

5. Dengan ditetapkannya Surat Keputusan ini, ketentuan-ketentuan yang bertentangan dan tidak sesuai dengan Surat Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

6. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 SEPTEMBER 2005

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


Drs.  SUTANTO
JENDERAL POLISI

Kamis, 24 Mei 2012

Pra Peradilan

Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.


Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.


Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.


Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :
dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan , hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut :
dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau pentuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dican tumkan rehabilitasinya;
dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.


Pasal 83
(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81tidak dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.


Pasal 124
Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.

Selasa, 15 Mei 2012

Hak-hak Saksi Berdasarkan UU 8 tahun 1981 tentang HAP



Pasal 1 angka (26)
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.


Pasal 1 angka (27)
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.


Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang :
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.


Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.


Pasal 75 ayat (1)
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang : h. Pemeriksaan saksi.


Pasal 84 ayat (2)
Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.


Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.


Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.


Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.


Pasal 117 ayat (1)
Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.


Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda-tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.


Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.


Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai. akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.


Pasal 146 ayat (2)
Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.


Pasal 159 ayat (2)
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa saksi itu tidak.akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.


Pasal 160
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.


Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.


Pasal 181 ayat (3)
Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.


Pasal 182 ayat (3)
Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.


Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.


Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.


Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi;


Pasal 202 ayat (2)
Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya.


Pasal 203 ayat (2)
Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan.


Pasal 205 ayat (2)
Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.


Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.


Pasal 227 ayat (1)
Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.


Pasal 229
(1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemananggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 238 ayat (4)
Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.


Sumber : disarikan dari UU No. 8 tahun 1981

Jumat, 09 Maret 2012

Nota Kesepahaman Polri dengan Peradi

Nota Kesepahaman Antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor : B/7/II/2012 Nomor : 002/PERADI-DPN/MoU/II/2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang Proses Penyidikan Yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Profesi Advokat


download selengkapnya

Perma 2 tahun 2012

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah denda dalam KUHP


Pasal 1
Kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam pasal 364, 373, 384, 407, dan 482 dibaca menjadi Rp.2.500.000,-


baca selengkapnya

Selasa, 06 Maret 2012

Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri

Pasal 31

Pada saat Peraturan ini mulai berlaku:
a. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
c. peraturan lain yang mengatur tentang Kode Etik Profesi di lingkungan Polri;
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

baca selengkapnya