DAMPAK
NEGATIF KAWIN SIRI DI DALAM KELUARGA[1]
Oleh
: Erni Lestari[2]
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang.
Pro dan kontra tentang nikah siri selalu menarik
banyak kalangan dan semakin menarik dengan keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). MK melakukan pengujian
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),
yang diajukan oleh Ny.Aisyah Machica Moektar yang mengaku menikah secara siri
dan telah mempunyai anak dari hasil pernikahan tersebut, namun berdasarkan UUP,
anaknya tidak mempunyai hak ataupun status hukum dari ayahnya, sehingga
melakukan pengujian terhadap Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut dan diterima
sebagai perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan MK memberikan putusan bahwa Pasal 43
ayat (1) UUP, harus dibaca dengan kalimat : “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kemudian sebagai
respon dari Putusan MK tersebut MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 11 tahun 2012
tanggal 10 maret 2012 tentang Kedudukan anak hasil zina dan perlakuaan
terhadapnya, yang intinya anak yang lahir di luar pernikahan yang sah hanya
mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya
namun pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki yang
mengakibatkan lahirnya anak tersebut dengan mewajibkannya untuk mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui
wasiat wajibah.
Fenomena pernikahan di bawah tangan bukan karena
terkuaknya pernikahan di bawah tangan Farhat Abbas (suami artis Nia Daniati)
dengan salah seorang mojang asal Bandung beberapa waktu lalu, namun keluarnya
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan.
Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima' yang dihadiri lebih dari 1000
ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu
lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur. Pembahasan
mengenai pernikahan di bawah tangan ini cukup alot. Terhadap kasus tersebut,
peserta ijtima' sepakat bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena
telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun, nikah tersebut menjadi haram
apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya
telantar[3].
Keinginan pemerintah untuk memberikan aturan hukum
yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan
undang-undang tentang perkawinan. Pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal,
sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan
denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang
mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah
kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya
masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun
penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat
lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.
B.
Permasalahan.
Terlepas dari ketentuan dan aturan hukum tersebut
diatas, pernikahan siri selalu dilakukan oleh seorang laki-laki yang telah
berkeluarga, pernikahan siri yang dilakukan tidak dinyatakan sebelumnya pada
saat nikah resmi dengan perempuan yang menjadi istrinya, namun pernikahan siri
yang dilakukan selalu beralasan dengan permasalahan yang dihadapi bersama
istrinya sekarang, yang akhirnya pernikahan siri yang dilakukan membawa dampak
negatif terhadap keluarganya, dan kemudian yang menjadi permasalahan adalah apa
sajakah dampak negatif nikah siri di dalam keluarga ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah Siri.
Pernikahan atau nikah artinya menurut bahasa adalah berkumpul[4]
atau menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan
ke pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[5]. Pengertian
akad nikah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 c Kompilasi Hukum Islam (KHI)
ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai
pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
Dalam hukum nasional, tidak mengenal kata
pernikahan, yang dikenal adalah perkawinan sebagaimana dalam UUP, yang menurut
terminologi bahasa berasal dari kata kawin dan tertera dalam identitas
masyarakat indonesia (KTP), namun kata nikah ada dalam buku nikah pada setiap
masyarakat yang melakukan pernikahan tercatat, meskipun begitu Pasal 2 KHI
menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan.
Kata “siri” berasal dari terminologi Arab yaitu “sirran” dan “sirriyyun”. Sirran
berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati.
Sedangkan kata sirriyyun berarti
secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Sehingga kemudian
dikenal istilah nikah siri yang artinya nikah secara rahasia (secret marriage), pernikahan yang
dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Dan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nikah siri berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang
modin dan saksi namun tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan
tersebut menurut agama Islam sudah sah[6].
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan
memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang
dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini.
Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan
rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta
tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai,
kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat
Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil
wali dengan memenuhi syarat dan rukun nikah[7],
karena tanpa wali atau wali yang tidak memenuhi syarat maka nikahnya batal misalnya
menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi
murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk
menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita
masih memiliki wali yang sebenarnya sehingga nikah siri tersebut statusnya
batal dan wajib dipisahkan, sebagaimana hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari
radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali
dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah,
thabrani, dsb) dan hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa
izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)[8] dan
disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat
Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak
beragama Islam[9]. Hanya saja, pernikahan
semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan: Pertama,
pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh
lembaga resmi (KUA) sebagaimana firman Allah :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa:
59). Pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau
hukum Allah. Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua
belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang
kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا),
sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21. Dimana pasangan
suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang
bentuknya tertulis[10]. Ketiga,
pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita. Dalam
aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya
bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Keempat, memudahkan
pengurusan administrasi negara, misalnya KTP, KK, SIM dan sebagainya[11].
Untuk beristri lebih dari seorang[12],
sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau tidak dapat
melahirkan keturunan[13]
dengan syarat adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka[14].
B.
Pengertian keluarga.
Pasal 1 UUP jelas menyebutkan bahwa Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata keluarga dalam pasal tersebut, mempunyai
arti jika merujuk pada bahasa Sansekerta, berbunyi kulawarga; ras dan warga
yang berarti anggota[15]
sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya. Menurut Departemen
Kesehatan RI (1998) : Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang
terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di
suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan[16].
Sedangkan menurut BKKBN (1999) keluarga adalah dua orang atau lebih yang
dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan
yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta
lingkungannya[17].
Beberapa ahli memberikan pendapatnya tentang
keluarga, antara lain : Dhurkeim yang berpendapat bahwa keluarga adalah lembaga
sosial sebagai hasil faktor-faktor politik, ekonomi dan lingkungan[18].
Salvicion dan Ara Celis (1989) menyatakan keluarga adalah dua atau lebih dari
dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau
pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu
sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu kebudayaan[19].
Menurut Minuchin (dalam H.Sofyan S.Willis, 2008 : 50) mengatakan bahwa keluarga
adalah “Multibodied organism” organisme yang terdiri dari banyak badan.
Keluarga adalah satu kesatuan (entity) atau organisme. Ia bukanlah merupakan
kumpulan (collection) individu-individu. Ibarat amoeba, keluarga mempunyai
komponen-komponen yang membentuk keluarga itu[20].
Pengertian keluarga juga diterangkan dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 52 tahun
2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga
adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
C.
Dampak Negatif Di Dalam Keluarga.
Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[21], mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah[22].
Bahwa arti dari sakinah adalah
tenteram, mawadah adalah cinta-
mencintai dan rahma adalah santun
menyantuni[23]. Sehingga perkawinan siri
dengan alasan untuk menghindari zina atau faktor ekonomi[24] maupun
akan dapat berlaku adil[25] adalah
alasan yang tidak benar.
Dalam UUP dan KHI, telah diatur hak dan kewajiban
suami istri yang melakukan perkawinan secara sah menurut agama dan negara serta
diatur pula hak dan kewajiban orang tua dengan anaknya. Hak dan kedudukan istri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan dalam masyarakat[26].
jika masing-masing melalaikan kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan[27], kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak mereka sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri.
Suami sebagai pembimbing, pelindung[28]
dan pendidik[29] istrinya dan menanggung
seluruh biaya hidup[30]
dan jika suami mempunyai istri lebih dari seorang maka biaya yang diberikan
kepada istrinya harus seimbang[31]. Namun
hal tersebut tidak akan terjadi jika ada perkawinan siri yang jelas dilakukan
secara tersembunyi, tidak diketahui oleh pihak lain, apalagi oleh keluarga
utamanya. Selain itu dampak negatif nikah siri bagi istri siri dan anak hasil
nikah siri[32], adalah :
1.
Kehilangan dan tidak terpenuhinya
hak-hak (nafkah lahir dan batin) seorang istri dan anak yang sah secara hukum.
2.
Jika terjadi perpisahan, tidak
berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono gini.
3.
Meski diakui secara agama maupun
adat istiadat, dianggap tidak sah oleh negara sehingga tidak dapat melakukan
gugatan ke pengadilan terhadap suaminya jika melakukan pelanggaran perkawinan.
4.
Tidak berhak mendapatkan warisan.
5.
Dapat dikenakan pidana yaitu tindak
pidana kejahatan dalam perkawinan.
6.
Istri dapat menikah lagi dengan
laki-laki lain sehingga akan terjadi poliandri yang tentu saja lebih berbahaya
lagi, karena dilarang secara syariat[33].
BAB
III
KESIMPULAN
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai tujuan perkawinan dengan mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah (tenteram),
mawadah (cinta- mencintai) dan rahma (santun menyantuni), diperlukan
perkawinan yang sah, karena perkawinan siri atau yang disebut pernikahan atau
perkawinan di bawah tangan dengan alasan ataupun tujuan yang berbeda dari
tujuan perkawinan yang sah secara agama maupun negara tidak akan mencapai
tujuan perkawinan yang sebenarnya, karena mempunyai dampak negatif, baik bagi
istri dan anaknya yang sah, istri dan atau anaknya yang berasal dari perkawinan
siri maupun bagi suami yang melakukan perkawinan siri atau perkawinan di bawah
tangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan,
Jilid 1, Cetakan Pertama, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003, hal.115.
Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah),
17 Juni 2012, Hukum Nikah Siri,
http://www.konsultasisyariah.com/nikah-siri-tanpa-sepengatahuan-orang-tua/,
diakses 26 Desember 2013.
Aulia adinda, 22 Oktober 2012, pengertian keluarga
inti dan keluarga besar serta fungsi keluarga,
http://auliaadindadinda.blogspot.com/2012/10/pengertian-keluarga-inti-dan-keluarga.html,
diakses 29 November 2013
Femina, Resiko Menikah Siri,
http://www.femina.co.id/isu.wanita/anda.pria/risiko.menikah.siri/005/003/38,
diakses 24 Desember 2013.
Hukum Online, 24 Oktober 2006, Pencatatan Nikah Akan
Memperjelas Status Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum,
diakses 27 Desember 2013.
Hukum Online, 24 Oktober 2006, Pencatatan Nikah Akan
Memperjelas Status Hukum,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum,
diakses 27 Desember 2013.
Irma Devita, Akibat Nikah Siri,
http://irmadevita.com/2013/akibat-hukum-dari-nikah-siri/, diakses 26 Desember
2013.
Imroatus Solikah, Aminah Dewi Rahmawati dan Iskandar
Dzulkarnain, Eksistensi Keluarga Yang Menikah Siri Dalam Masyarakat Desa Gili
Anyar Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan,
http://pta.trunojoyo.ac.id/uploads/journals/090521100026/090521100026.pdf,
diakses 29 Desember 2013.
Oka Widiawan, 4 Desember 2010, Pengertian Keluarga
dan Fungsinya, http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html,
diakses 25 November 2013.
Suparyanto, 6 Oktober 2011, Pengertian Keluarga,
http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/10/pengertian-keluarga.html, diakses 25
November 2013.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan
ke 5, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal.73.
Try Indriadi, 10 April 2012, Seputar Nikah Siri,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f794bfa96a8f/seputar-nikah-siri,
diakses 27 Desember 2013.
Wikipedia, 27 November 2013, Pernikahan Dalam Islam,
http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam, diakses 26 Desember 2013.
Wikipedia, 10 oktober 2013, Keluarga,
http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 25 November 2013.
Wikipedia, 27 Desember 2013, Keluarga,
http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 29 Desember 2013.
[1] Tugas
Makalah Pendidikan Agama Islam Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, 2013.
[2]
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
[3] Hukum Online, 24 Oktober 2006,
Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum,
diakses 27 Desember 2013.
[4] Ibrahim Hosen, Fiqh
Perbandingan Masalah Perkawinan, Jilid 1, Cetakan Pertama, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 2003, hal.115.
[5] Wikipedia, 27 November 2013,
Pernikahan Dalam Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam,
diakses 26 Desember 2013.
[6] Try Indriadi, 10 April 2012,
Seputar Nikah Siri,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f794bfa96a8f/seputar-nikah-siri,
diakses 27 Desember 2013.
[7] Rukun nikah : Pengantin
laki-laki, Pengantin perempuan, Wali, Dua orang saksi laki-laki,Mahar, Ijab dan
kabul (akad nikah), lihat Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
[8] Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
Konsultasi Syariah), 17 Juni 2012, Hukum Nikah Siri,
http://www.konsultasisyariah.com/nikah-siri-tanpa-sepengatahuan-orang-tua/,
diakses 26 Desember 2013.
[9] Irma Devita, Akibat Nikah
Siri, http://irmadevita.com/2013/akibat-hukum-dari-nikah-siri/, diakses 26
Desember 2013.
[10] Lihat Pasal 6 Kompilasi Hukum
Islam.
[11] Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
Konsultasi Syariah), 17 Juni 2012, Hukum Nikah Siri, http://www.konsultasisyariah.com/nikah-siri-tanpa-sepengatahuan-orang-tua/,
diakses 26 Desember 2013.
[12] Lihat Pasal 3 UU 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
[13] Lihat Pasal 4 ayat (2) UU 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
[14] Lihat Pasal 5 ayat (1) UU 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
[15] Wikipedia, 10 oktober 2013,
Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 25 November 2013.
[16] Oka Widiawan, 4 Desember 2010,
Pengertian Keluarga dan Fungsinya,
http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html, diakses
25 November 2013.
[17] Suparyanto, 6 Oktober 2011,
Pengertian Keluarga,
http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/10/pengertian-keluarga.html, diakses 25
November 2013.
[18] ibid.
[19] Oka Widiawan, opcit.
[20] Aulia adinda, 22 Oktober 2012,
pengertian keluarga inti dan keluarga besar serta fungsi keluarga,
http://auliaadindadinda.blogspot.com/2012/10/pengertian-keluarga-inti-dan-keluarga.html,
diakses 29 November 2013.
[21] Lihat Pasal 1 UU Perkawinan.
[22] Lihat Pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam.
[23] Sayuti Thalib, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, Cetakan ke 5, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009,
hal.73.
[24] Imroatus Solikah, Aminah Dewi
Rahmawati dan Iskandar Dzulkarnain, Eksistensi Keluarga Yang Menikah Siri Dalam
Masyarakat Desa Gili Anyar Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan,
http://pta.trunojoyo.ac.id/uploads/journals/090521100026/090521100026.pdf, diakses
29 Desember 2013.
[25] Ibrahim Hosen, opcit, hal.140.
[26] Lihat Pasal 31 UU Perkawinan.
[27] Lihat Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan
[28] Wikipedia, 27 Desember 2013,
Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 29 Desember 2013.
[29] ibid.
[30] Lihat Pasal 80 Kompilasi Hukum
Islam.
[31] Lihat Pasal 82 Kompilasi Hukum
Islam.
[32] Femina, Resiko Menikah Siri,
http://www.femina.co.id/isu.wanita/anda.pria/risiko.menikah.siri/005/003/38,
diakses 24 Desember 2013.
[33] Hukum Online, 24 Oktober 2006,
Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-hukum,
diakses 27 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar