MENGAJUKAN
GUGATAN SEBAGAI KEWAJIBAN KONSUMEN[1]
Oleh
: Agus Christianto[2]
A.
Pendahuluan.
Hak dan kewajiban melekat pada setiap orang. Terutama
hak yang selalu dituntut untuk dipenuhi, namun saat bertemu dengan orang lain,
maka timbul suatu kewajiban. Misalnya setiap orang yang menyukai rokok,
mempunyai untuk merokok meskipun nantinya berakibat pada kesehatannya, namun
merupakan hak perokok, namun begitu merokok di dekat orang yang tidak merokok,
orang perokok mempunyai kewajiban untuk menghargai orang yang tidak merokok
yang mempunyai hak untuk mendapatkan udara bersih sehingga perokok untuk
merokok di tempat lain dan hal ini telah diatur oleh pemerintah dan badan usaha
lainnya dengan menyediakan tempat khusus untuk merokok, namun hal ini justru
sering diabaikan oleh perokok.
Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah jelas disebutkan Hak dan Kewajiban
Konsumen. Hak konsumen telah jelas di atur dalam Pasal 4 UUPK sedangkan
kewajiban Konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK. Dan dalam penjelasan UUPK
disebutkan barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri, kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai
manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan
konsumen. Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada
pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Padahal telah jelas dicantumkan dalam konsideran UUPK yang
menyebutkan bahwa dunia usaha yang didukung oleh pemerintah dalam menghasilkan
beraneka barang dan/jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
banyak yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Sehingga
permasalahan yang muncul adalah apakah mengajukan gugatan adalah kewajiban
konsumen sebagai pemakai barang dan jasa dalam melindungi dirinya dari pelaku
usaha ?
B.
Pengertian Konsumen Pemakai Barang
dan Jasa.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, pengertian Konsumen
adalah pemakai barang hasil produksi, penerima pesan iklan atau pemakai jasa.
Sedangkan barang adalah benda umum (segala sesuatu yang berwujud atau berjasad)
dan jasa adalah perbuatan yang baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain
atau perbuatan yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan orang lain.
Dalam UUPK disebutkan Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan[3],
sedangkan Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,
yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen[4]
dan Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen[5].
C.
Kewajiban Konsumen Sebagai Pemakai
Barang dan Jasa.
Kata kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti harus
dilakukan atau tidak boleh tidak dilaksanakan, dan kewajiban adalah sesuatu yang
diwajibkan atau sesuatu yang harus dilaksanakan dan menjadi keharusan. Kewajiban
adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan tanggung jawab[6].
Dan dalam konteks Hak asasi Manusia, Kewajiban Asasi Manusia adalah menghormati
hak asasi manusia. Menghormati hak-hak asasi orang lain[7].
Menurut Prof Notonagoro Wajib adalah beban untuk
memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak
tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat
dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Sehingga Kewajiban adalah
sesuatu yang harus dilakukan[8]. Pater
Bertens dalam bukunya, Etika, hak dan kewajiban adalah dua sisi dari satu mata
uang. Setiap hak seseorang akan berhenti ketika bertemu dengan hak orang lain[9].
Dalam
UUPK kewajiban konsumen[10]
adalah :
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan.
Kewajiban
ini sangat penting, karena pelaku usaha sering menyampaikan peringatan secara tertulis
pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan atau meneliti (onderzoekplicht). Dengan konsekuensi
pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila konsumen menderita kerugian akibat
mengabaikan kewajiban tersebut. Namun jika pelaku usaha tidak menggunakan cara
yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan yang menyebabkan
konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti rugi
pada konsumen yang dirugikan[11].
2.
Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
Dalam
Black’s Law Dictionary yang dimaksud
itikad baik atau good faith adalah : “A state of mind consisting in (1) honesty
in belief or purposes. (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3)
observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade
or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable
advantage”. Menurut M.L Wry adalah: perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu
muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak
dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan
orang lain[12]. Sutan Remy Sjahdeini
menggambarkan itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu
perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan
kepentingan umum[13]. Prof. R. Subekti, SH
merumuskan itikad baik di waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran,
orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan,
yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang di
kemudian hari akan menimbulkan kesulitan-kesulitan[14].
Prof
Dr Siti Ismijati Jenie SH CN[15],
dalam pidato pengukuhannya di ruang Balai Senat UGM menyebutkan asas itikad
baik berasal dari hukum Romawi. Di dalam hukum Romawi asas ini disebut Bonafides. Dalam bahasa Indonesia,
itikad baik dalam arti subyektif disebut kejujuran sebagaimana Pasal 531 KUH
Perdata yang berbunyi bezit dalam itikad baik terjadi bila pemegang bezit memperoleh
barang itu dengan mendapatkan hak milik tanpa mengetahui adanya cacat cela di
dalamnya. Dan dalam arti obyektif disebut kepatutan sebagaimana dirumuskan
dalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Misalnya jual beli di rumah makan, konsumen
wajib untuk membayar makanan yang telah dibeli dan dimakan, sebelum atau
sesudahnya, tergantung kesepakatan yang sebelumnya dibuat atau telah diatur.
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati.
Dalam
artikata.com, membayar berarti memberikan uang (untuk pengganti harga barang yang
diterima atau melunasi utang)[16].
Sehingga membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati adalah memberikan
uang sebagaimana kesepakatan antara konsumen dengan pihak lain (pelaku usaha)
atas barang dan/atau jasa.
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Sengketa
perlindungan konsumen atau yang lebih dikenal sebagai sengketa konsumen adalah
sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen[17]
dan setiap Konsumen wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum yang telah
diatur dalam UUPK[18] antara
lain :
a.
Melakukan mediasi dengan pelaku
usaha.
Mediasi
adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak ketiga yang tidak
memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh
kesepakatan yang memuaskan[19].
Mediasi dapat dilakukan di dalam[20]
maupun di luar persidangan. Mediasi memerlukan pihak ketiga yang ditunjuk[21]
oleh masing-masing pihak untuk menyelesaikan permasalahan secara sukarela.
b.
Menggugat pelaku usaha melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen[22] atau
melalui peradilan umum.
Menggugat
adalah mengajukan gugatan (tertulis) dengan memperhatikan cara berpikir, dasar
hukum, klasifikasi hukum, penguasaan hukum material, bahasa indonesia, posita
harus sinkron dengan petitum, berpikir taktis, ketelitian, singkat, padat
tetapi mencakup, hukum acara perdata[23].
c.
Menuntut tanggung jawab pidana jika
ada perbuatan pidana.
Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut[24].
Perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana[25]
(hukuman penjara). Menuntut tanggung jawab pidana dilakukan dengan cara melaporkan
perbuatan pidana tersebut ke Kepolisian[26],
yang kemudian dilakukan penuntutan dan diakhiri di pengadilan dengan putusan
pidana.
D.
Kesimpulan.
Dalam Pasal 5 UUPK telah mengatur kewajiban konsumen sebagai
pemakai barang dan/atau jasa, dan salah satunya adalah mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Dan dalam Pasal
45 UUPK juga menyebutkan mengajukan gugatan ke Badan penyelesaian Sengketa
Konsumen dan Peradilan Umum sebagai salah satu hal yang dapat dilakukan
konsumen selain melakukan mediasi dan menuntut secara pidana, sehingga
mengajukan gugatan sebagai salah satu yang dapat dilakukan konsumen dalam
menyelesaikan permasalahannya dengan pelaku usaha.
DAFTAR
PUSTAKA
Jeremias Lemek, Penuntun Membuat Gugatan, Cetakan VI,
New Merah Putih, Yogyakarta, 2010
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992.
Praditya, Penyelesaian Sengketa Konsumen, Garuda, Jakarta,
2008.
Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Penerimaan dalam
Hukum Perjanjian, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. Jakarta:
Institut Bankir Indonesia. 1993.
Naskah Akademis Mediasi, Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, 2007
HIR
RBg
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Internet :
artikata.com, definisi membayar, http://www.artikata.com/arti-359314-membayar.html,
diakses 13 Desember 2013.
Ewaldoapra, 12 Februari 2010, Kewajiban Asasi Manusia,
http://catatanrodes.wordpress.com/2010/02/12/kewajiban-asasi-manusia/, diakses
13 Desember 2013.
Humas UGM, 11 September 2007, Pengukuhan Prof Ismijati
Jenie: Itikad Baik Sebagai Asas Hukum,
http://www.ugm.ac.id/id/berita/2066-pengukuhan.prof.ismijati.jenie:.itikad.baik.sebagai.asas.hukum,
diakses 13 Desember 2013.
Monang S Purba, 21 Februari 2010, Pengertian hak dan
kewajiban, http://monangdotnet.wordpress.com/2012/05/27/hak-dan-kewajiban-konsumen/,
diakses 13 Desember 2013.
Rio De'G, Pengertian Kewajiban,
http://www.scribd.com/doc/39227308/Pengertian-Kewajiban, diakses 13 Desember
2013.
Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, 18 November 2012, Kewajiban Asasi Manusia,
http://budisansblog.blogspot.com/2012/11/kewajiban-asasi-manusia.html, diakses
13 Desember 2013.
Setia Darma, 30 Oktober 2008, itikad baik menurut hukum,
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2008/10/itikad-baik-menurut-hukum.html,
diakses 13 Desember 2013.
Soemali, Kewajiban konsumen (dalam powerpoint),
soemali.dosen.narotama.ac.id, diakses 13 Desember 2013.
[1] Makalah disampaikan dalam
sarasehan LPKKI di Wonosobo, 14 Desember 2013, dan diposting ke
www.aguschristianto75.blogspot.com.
[2] Salah seorang Konsumen.
[3] Lihat Pasal 1 butir 2
[4] Lihat Pasal 1 butir 4
[5] Lihat Pasal 1 butir 5
[6] Monang S Purba, 21 Februari
2010, Pengertian hak dan kewajiban,
http://monangdotnet.wordpress.com/2012/05/27/hak-dan-kewajiban-konsumen/,
diakses 13 Desember 2013.
[7] Ewaldoapra, 12 Februari 2010,
Kewajiban Asasi Manusia,
http://catatanrodes.wordpress.com/2010/02/12/kewajiban-asasi-manusia/, diakses
13 Desember 2013.
[8] Rio De'G, Pengertian
Kewajiban, http://www.scribd.com/doc/39227308/Pengertian-Kewajiban, diakses 13
Desember 2013.
[9] Sarlito Wirawan Sarwono, Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 18 November 2012, Kewajiban
Asasi Manusia,
http://budisansblog.blogspot.com/2012/11/kewajiban-asasi-manusia.html, diakses
13 Desember 2013.
[10] Lihat Pasal 5
[11] Soemali, Kewajiban konsumen
(dalam powerpoint), soemali.dosen.narotama.ac.id, diakses 13 Desember 2013.
[12] Setia Darma, 30 Oktober 2008,
itikad baik menurut hukum,
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2008/10/itikad-baik-menurut-hukum.html,
diakses 13 Desember 2013.
[13] Sutan Remy Sjahdeini,
Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian
Kredit di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Hal.112
[14] Samuel M.P. Hutabarat,
Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, 2010, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta,Hal.45
[15] HumasUGM, 11 September 2007,
Pengukuhan Prof Ismijati Jenie: Itikad Baik Sebagai Asas Hukum,
http://www.ugm.ac.id/id/berita/2066-pengukuhan.prof.ismijati.jenie:.itikad.baik.sebagai.asas.hukum,
diakses 13 Desember 2013.
[16] artikata.com, definisi
membayar, http://www.artikata.com/arti-359314-membayar.html, diakses 13
Desember 2013.
[17] Praditya, Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Garuda, Jakarta, 2008, hal 135
[18] Lihat Pasal 45
[19] Naskah Akademis Mediasi,
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, 2007
[20] Lihat pasal 130 HIR/154 Rbg
[21] Dapat dipakai Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[22] Lihat pasal 49-58
[23] Jeremias Lemek, Penuntun
Membuat Gugatan, Cetakan VI, New Merah Putih, Yogyakarta, 2010, hal.13.
[24] Moeljatno, Asas-asas Hukum
Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54
[25] Poernomo, Bambang. Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal 130
[26] Lihat UU Nomor 2 tahun 2002
dan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar