Kamis, 28 November 2013

Bantuan Hukum bagi keluarga Anggota Polri (orang tua sebagai tergugat)

PENOLAKAN HAKIM TERHADAP KEHADIRAN PENASEHAT HUKUM POLRI SEBAGAI KUASA HUKUM ORANG TUA ANGGOTA POLRI[1]
Oleh : Agus Christianto[2]


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang.

Briptu Riya Istiawan Nugroho, Bintara Unit Lalu Lintas Kepolisian Sektor Imogiri, Polres Bantul, mengajukan permohonan bantuan hukum diberikan penasehat hukum kepada Kapolda DIY untuk ayah kandungnya yang bernama K.H. Drs. Samiran, MA., dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (PP Hak Anggota Polri), anggota Polri beserta keluarganya berhak memperoleh bantuan hukum dari dinas[3] dan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan dan nasehat Hukum di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap Banhatkum), yang menyebutkan ayah kandung termasuk dalam arti kata keluarga[4]K.H. Drs. Samiran, MA.,  orang tua Briptu Riya Istiawan Nugroho di gugat di Pengadilan Negeri Bantul dengan materi gugatan yaitu Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Pembatalan Sertifikat dan Tuntutan Ganti Kerugian, dikarenakan Penggugat merasa tidak pernah menjual tanahnya pada tahun 1995. Selain K.H. Drs. Samiran, MA., sebagai Tergugat I, juga di gugat Kelurahan sebagai Tergugat II, Kecamatan sebagai Tergugat III, Notaris dan PAT sebagai Tergugat IV dan Kantor Pertanahan sebagai Tergugat V.
Briptu Riya Istiawan Nugroho mengajukan permohonan sebagaimana yang diatur dalam Perkap Banhatkum dan surat permohonan bantuan penasehat hukum tersebut di setujui[5], yang kemudian oleh Bidkum Polda DIY, dibentuk tim dan melengkapi administrasi persidangan yaitu, membuat surat perintah[6] dan surat kuasa[7] serta membuat materi jawaban karena permohonan bantuan hukum diajukan pada saat sidang sudah di mulai dan sudah memasuki tahapan jawaban.
Pada saat sidang, hakim memulai memeriksa kehadiran pihak Penggugat dan Tergugat. Dan pada saat memeriksa kehadiran Tergugat I yang diwakili oleh Tim Penasehat Hukum dari Polda DIY, Hakim mempertanyakan keabsahan mewakili dalam persidangan, karena bukan advokat sebagaimana Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Pasal 123 ayat 2 HIR, 147 ayat 2 RBg tentang Kuasa Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata[8]. Terjadi perdebatan antara Hakim dengan Tim Penasehat Hukum dari Polda DIY dan setelah diberikan landasan hukum[9], kemudian Tim Penasehat Hukum mundur dari persidangan dan sidang kemudian ditunda. Ditundanya sidang setelah musyawarah antara Tim Penasehat Hukum dari Polda DIY, K.H. Drs. Samiran, MA., dan hakim serta Penggugat dan Tergugat lainnya, hakim secara sopan, tegas dan bijaksana[10] memutuskan untuk memberikan waktu kepada Tergugat mempersiapkan jawabannya tanpa adanya renvoi akibat mundurnya kuasa hukum Tergugat I.

B.        Permasalahan.

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka hal yang menjadi permasalahan adalah :
1.         Bagaimanakah pengertian keluarga ? dan
2.         Bagaimanakah Polri dalam memberikan bantuan hukum kepada keluarga anggota Polri ?
3.         Bagaimanakah pendapat hakim perdata yang menolak kehadiran kuasa hukum Polri dalam memberikan bantuan hukum kepada keluarga anggota Polri ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Keluarga.

Dalam PP Hak Anggota Polri disebutkan Anggota Polri dan keluarganya berhak memperoleh bantuan hukum. Peraturan Pemerintah ini tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan ‘keluarga’, namun dalam Pasal 1 butir 5 Perkap Banhatkum, yang termasuk keluarga adalah meliputi suami, istri, orang tua kandung/mertua, anak kandung, anak tiri, dan anak angkat yang sah. Pertimbangan inilah yang menjadikan Briptu Riya Istiawan Nugroho, mengajukan permohonan bantuan hukum kepada Kapolda DIY untuk ayah kandungnya yang berhadapan dengan hukum sebagai Tergugat I.
Kata keluarga jika merujuk pada bahasa Sansekerta, berbunyi kulawarga; ras dan warga yang berarti anggota[11] adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan[12]. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya[13]. Dalam kamus besar bahasa Indonesia keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya.
Beberapa kementerian mendefinisikan keluarga sebagai berikut :
1.         Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) : Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan[14].
2.         Menurut BKKBN (1999) dalam Sudiharto (2007) keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya[15].
Pengertian keluarga menurut beberapa ahli, antara lain :
1.         Sigmund Freud, keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan wanita. Keluarga merupakan manifestasi daripada dorongan seksual sehingga landasan keluarga itu adalah kehidupan seksual suami isteri[16].
2.         Dhurkeim berpendapat bahwa keluarga adalah lembaga sosial sebagai hasil faktor-faktor politik, ekonomi dan lingkungan[17].
3.         Menurut Salvicion dan Ara Celis (1989) : Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan[18].
4.         Definisi keluarga menurut Burgess dkk dalam friedman (1998) yang berorientasi pada tradisi dan digunakan secara luas[19] :
a.        Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi,
b.        Para anggota keluarga biasanya tinggal di dalam satu rumah, atau jika meraka hidup terpisah, maka merka akan menggangap itu sebagai keluarga mereka.
c.         Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikas antara satu dengan yang lainnya
d.        Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama dengan beberapa cirri unik tersendiri.
5.         Pengertian atau definisi keluarga menurut Tor Bett (1977), keluarga adalah keluarga yang terdiri dari dua orang atau lebih yang ada keterkaitan darah, perkawinan atau adposi yang tinggal dalam suatu rumah tangga, menciptakan dan memperkenalkan kebudayaan dan mendapatkan interaksi antara satu dengan yang lain melalui peranannya masing-masing[20].
6.         Menurut Minuchin (dalam H.Sofyan S.Willis, 2008 : 50) mengatakan bahwa keluarga adalah “Multibodied organism” organisme yang terdiri dari banyak badan. Keluarga adalah satu kesatuan (entity) atau organisme. Ia bukanlah merupakan kumpulan (collection) individu-individu. Ibarat amoeba, keluarga mempunyai komponen-komponen yang membentuk keluarga itu[21].
7.         Ali (2010) mengatakan keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dlam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya[22].
Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Sehingga keluarga itu terbagi menjadi dua[23], yaitu:
1.         Keluarga Kecil (Nuclear Family). Keluarga inti adalah unit keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak mereka; yang kadang-kadang disebut juga sebagai “conjugal”-family.
2.         Keluarga Besar (Extended Family), Keluarga besar didasarkan pada hubungan darah dari sejumlah besar orang, yang meliputi orang tua, anak, kakek-nenek, paman, bibi, kemenekan, dan seterusnya. Unit keluarga ini sering disebut sebagai ‘conguine family’ (berdasarkan pertalian darah).
Pengertian keluarga juga diterangkan terdapat dalam peraturan, antara lain :
1.         Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kekeluargaan sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orang-orang di mana yang seorang adalah keturunan dan yang lain, atau antara orang-orang yang mempunyai bapak asal yang sama. Hubungan kekeluargaan sedarah dihitung dengan jumlah kelahiran, setiap kelahiran disebut derajat[24]. Urusan derajat yang satu dengan derajat yang lain disebut garis. Garis lurus adalah urutan derajat antara orang-orang, di mana yang satu merupakan keturunan yang lain, garis menyimpang ialah urutan derajat antara orang-orang, di mana yang seorang bukan keturunan dari yang lain tetapi mereka mempunyai bapak asal yang sama[25]. Dalam garis lurus, dibedakan garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas. Yang pertama merupakan hubungan antara bapak asal dan keturunannya dan yang terakhir adalah hubungan antara seorang dan mereka yang menurunkannya[26]. Dalam garis lurus derajat-derajat antara dua orang dihitung menurut banyaknya kelahiran; dengan demikian, dalam garis ke bawah, seorang anak, dalam pertalian dengan bapaknya ada dalam derajat pertama, seorang cucu ada dalam derajat kedua, dan demikianlah seterusnya; sebaliknya dalam garis ke atas, seorang bapak dan seorang kakek, sehubungan dengan anak dan cucu, ada dalam derajat pertama dan kedua, dan demikianlah seterusnya[27].
2.         Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
3.         Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor 21 tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, menyatakan Keluarga adalah suami atau istri, anak kandung, anak angkat, atau anak tiri, orang tua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau ipar, dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal.
Sifat hubungan kekeluargaan, antara lain lurus, yaitu yang bersama-sama dengan keturunannya, lurus keatas (ascedenten) dan lurus ke bawah (descedenten)[28]. Dan dalam ilmu sosial, keluarga merupakan suatu miniature dari keadaan masyarakat. Keluarga adalah unit atau unsur terkecil dalam masyarakat yang memberikan atau memperkenalkan kepada individu atau anggota keluarga mengenai warna dan nilai yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai tatanan sosial dengan ciri-ciri:
1.         Mempunyai ikatan erat antar anggota keluarga.
2.         Hubungan antar anggotanya bersifat langsung atau tatap muka.
3.         Masing-masing anggota merasakan, menilai tanggung jawab (hak dan kewajiban) demi kelangsungan hidup keluarga[29].

B.        Bantuan Hukum Kepada Keluarga Anggota Polri.

1.         Bantuan Hukum Dari Polri.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), menyebutkan anggota Polri memperoleh hak[30] dan dalam PP Hak Anggota Polri menyebutkan salah satunya adalah bantuan hukum[31]. Hak memperoleh bantuan hukum, tidak hanya untuk anggota Polri, namun diperuntukkan bagi keluarganya serta di luar maupun di dalam pengadilan[32]. Alasan anggota Polri beserta keluarganya mendapatkan bantuan hukum dari Polri tertuang dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (PP Hak Anggota Polri) adalah untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Polri yang semakin berat dan kompleks, guna meweujudkan Polri yang tangguh, berdisiplin dan profesional yang tugasnya mengandung resiko tinggi.
Bantuan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum[33]. Bantuan Hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi[34] dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum[35]. Dan sebelum UU Bantuan Hukum di sahkan, bantuan hukum di lingkungan Polri sudah menjadi berjalan jauh sebelum Undang-undang Bantuan Hukum lahir. Bantuan hukum diberikan kepada setiap anggota Polri yang terkena kasus hukum[36]. Bantuan terhadap keluarga besar Polri telah diatur dalam Pasal 1 butir 2 Perkap Banhatkum berbunyi Pemohon adalah satuan Polri dan keluarga besar Polri yang terdiri dari anggota Polri, PNS Polri, Purnawirawan Polri, Wredatama, Warakawuri, Duda/Janda dariPolwan/PNS Polri dan Veteran beserta keluarganya. Pemberian bantuan hukum kepada anggota Polri adalah kewajiban yang diamanatkan peraturan perundang-undangan[37].
Merujuk pada pasal 1 angka 13 KUHAP, penasehat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Dari rumusan pasal tersebut jelas bahwa jika seseorang ingin menjadi penasehat hukum sebagaimana dirumuskan dalam KUHAP, haruslah merupakan advokat[38]. Dan menurut Pasal 31 UU Advokat, setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta. Akan tetapi, ketentuan pasal ini telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK No. 006/PUU-II/2004[39].
Penasehat hukum atau kuasa hukum yang ditugaskan untuk memberi bantuan adalah anggota Polri dan/atau PNS Polri yang berlatar belakang Pendidikan Tinggi Hukum, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Perguruan Tinggi Hukum Militer dan Universitas Islam Negeri Jurusan Syariah yang mendapat perintah/tugas atau kuasa dari Pimpinan Polri untuk memberikan bantuan hukum, nasehat hukum dan konsultasi hukum (Pasal 1 angka 6 Perkapolri 7/2005)[40].

2.         Jenis Bantuan Hukum Yang Dapat Diberikan Kepada Keluarga Anggota Polri.

Bantuan Hukum sebagaimana UU Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum[41]. Bantuan Hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi[42] dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum[43]. Hal ini juga tercantum dalam PP Hak Anggota Polri yang menyebutkan bahwa keluarga anggota Polri juga mendapat bantuan hukum di luar maupun di dalam pengadilan[44], dan Perkap Banhatkum menyebutkan pemberian banhatkum dalam perkara perdata[45], pidana[46], tata usaha negara[47], di Pengadilan Agama bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf yang dilakukan berdasarkan hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam[48] dan dalam perkara Hak Asasi Manusia[49], serta perkara pelanggaran disiplin dan Kode Etik[50].
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka mendapatkan kepentingannya tersebut[51]. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu pihak berupa hak, sedangkan di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak[52]. Para pihak yang berperkara dapat mewakilkannya kepada orang lain dengan atau dalam bentuk surat kuasa khusus. Dimana surat kuasa khusus itu dapat dibuat secara di bawah tangan atau secara otentik di hadapan seorang notaris[53].

C.        Peran Hakim dalam Hukum Acara Perdata.

1.         Pengertian Hukum Acara Perdata.

Hukum Acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil[54], sedangkan hukum acara perdata ialah kumpulan atau himpunan peratruran hukum yang mengatur perihal tata cara pelaksanaan hukum perdata atau penerapan peraturan-peraturan hukum dalam prakteknya[55]. Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil[56].
Pengertian Hukum Acara Perdata menurut masing-masing ahli adalah sebagai berikut :
1.        menurut Dr. Wirjono adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan atau dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
2.        Sudikno menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum materiil. Lebih kongkritnya lagi dikatakan bahwa hukum acara perdata adalah mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusan.
3.        Menurut Cst Kansil, Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata ke muka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan[57].
4.        Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materill dengan perataraan hakim[58].

2.         Peran Hakim di Persidangan.

Dalam penyelesaian perkara melalui proses perdata, hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan yang diberikan undang-undang kepadanya, berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice)[59]. Pengadilan atau majelis yang melakukan pemeriksaan persidangan, wajib memberi kesempatan yang sama (to give the some opportunity to each party), untuk mengajukan pembelaan kepentingan masing-masing[60] [61]. Hakim dalam persidangan sesuai dengan asas impersialitas (impartiality) yang meliputi tidak memihak (impartial), bersikap jujur atau adil (fair and just) dan tidak bersikap diskriminatif, tetapi menempatkan dan mendudukkan para pihak yang berperkara dalam keadaan setara di depan hukum (equal before the law)[62].
Asas-asas yang Digunakan dalam Hukum Acara Perdata adalah :
a.        Hakim Bersifat Menunggu.
Asas ini berarti bahwa inisiatif berperkara di pengadilan ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan bukan dilakukan oleh hakim. Hakim hanya besikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Akan adanya proses atau tidak, ada tuntutan hak atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Kalau sudah ada tuntutan yang menyelenggarakan proses adalah Negara. Hal ini karena hukum acara perdata hanya mengatur cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadinya. Seorang hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009). Dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Apabila hukum tertulis tidak ditemukan, maka hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
b.        Hakim Bersikap Pasif
Maksud hakim bersikap pasif adalah hakim tidak menentukan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya, tetapi yang menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim harus mengadili seluruh bagian gugatan, tetapi hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 2,3 HIR/189 ayat 2, dan 3 RBg). Dalam hal ini, bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan sehingga berjalan lancar. Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan serta memerintahkan supaya alat bukti yang diperlukan disampaikan dalam persidangan. Hakim juga berwenang memberikan nasihat, mengupayakan perdamaian, menunjukkan upaya-upaya hukum dan memberikan keterangan kepada pihak-pihak yang berperkara (Pasal 132 HIR/156 RBg).
Dalam perkara perdata gugatan, tugas hakim ‘jurisdictio contentiosa’, adalah kewenangan mengadili dalam arti yang sebenarnya untuk memberikan suatu putusan keadilan dalam suatu sengketa[63], dan dalam sidang pertama, setelah membuka persidangan, hakim menanyakan identitas para pihak, maksud didatangkannya para pihak di muka sidang pengadilan dan menghimbau agar dilakukan para pihak. Apabila dalam pemeriksaan identitas para pihak yang datang adalah kuasa Penggugat dan Tergugat maka hakim mempersilahkan para pihak untuk meneliti surat kuasa khusus pihak lawan, apabila tidak ditemukan kekurangan atau cacat maka sidang dilanjutkan[64].

BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan.

Keluarga dalam Pasal 7 ayat (1) PP Hak Anggota Polri yang berbunyi “setiap anggota Polri beserta keluarganya berhak memperoleh bantuan hukum dari dinas baik di dalam maupun di luar proses peradilan” adalah komunitas atau unit terkecil dalam masyarakat yang berdasarkan garis lurus keturunan keatas dan kebawah, meliputi orang tua kandung dan mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari Polri, dengan cara dan ketentuan yang berlaku. Dan dalam persidangan hakim tidak mempunyai wewenang menolak kehadiran kuasa hukum.

B.        Saran.

Diperlukan sosialisasi ataupun pemahaman dari pihak di luar Polri, mengenai bantuan hukum yang dapat di lakukan Polri kepada keluarga anggota Polri, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan.




DAFTAR PUSTAKA


Chidir Ali, Responsi Hukum Acara Perdata, Armico, Bandung, 1987.
Kin dan Tatang, Tanya Jawab Hukum Perdata 2, Cetakan Pertama, Armico, Bandung, 1981.
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Cetakan ke 4, Edisi Revisi, Jakarta, 2002.
Rachmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
R. Soeroso, Pratik Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Supriadi, 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, Cetakan ke-I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Aulia adinda, 22 Oktober 2012, pengertian keluarga inti dan keluarga besar serta fungsi keluarga, http://auliaadindadinda.blogspot.com/2012/10/pengertian-keluarga-inti-dan-keluarga.html, diakses 25 November 2013.
Catatan Kampus Unhalu, 22 Januari 2009, Hukum Acara Perdata, http://hukumacaraperdata.blogspot.com/, diakses 25 November 2013.
Hukum Online, Sabtu, 6 Oktober 2012, Anggota Polri Juga Berhak atas Bantuan Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506febb634bd9/anggota-polri-juga-berhak-atas-bantuan-hukum, diakses tanggal 22 November 2013.
Ilman Hadi, Klinik Hukum Online, 18 Maret 2013, Legalitas Anggota Polri Sebagai Penasehat Hukum, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513d568166f6f/legalitas-anggota-polri-sebagai-penasehat-hukum, diakses tanggal 22 November 2013
M. Ali Syahriansyah, 01 Juli 2012, Pengertian Hukum Acara Perdata Menurut Para Ahli, http://alisyahriansyah.blogspot.com/2012/07/pengertian-hukum-acara-perdata-menurut.html, diakses 25 November 2013.
Oka Widiawan, 4 Desember 2010, Pengertian Keluarga dan Fungsinya, http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html, diakses 25 November 2013.
Perkembangan Hukum, 8 Januari 2011, Pengertian Hukum Acara Perdata, http://intisarihukum.blogspot.com/2011/01/pengertian-hukum-acara-perdata.html, diakses 25 November 2013.
Retno Wulan S dan iskandar O, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 1 dan 2, http://elwildan.files.wordpress.com/2012/03/pengertian-sumber-hukum-dan-sejarah-hukum-acara-perdata.pdf, diakses 25 November 2013.
Sehat Online, Pengertian Keluarga, Jenis Tipe macam Keluarga, http://e-medis.blogspot.com/2013/06/pengertian-keluarga-jenis-tipe-macam.html#.UpKZzNJge5w, diakses 25 November 2013.
Shanti Rachmadsyah, Klinik Hukum Online, 20 April 2010, Dasar Hukum Non-Advokat Beracara di Pengadilan, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4bc4a5d132f01/dasar-hukum-non-advokat-beracara-di-pengadilan, diakses 22 November 2013.
Suparyanto, 6 Oktober 2011, Pengertian Keluarga, http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/10/pengertian-keluarga.html, diakses 25 November 2013.
Wikipedia, 10 oktober 2013, Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 25 November 2013.








[1] Makalah disampaikan sebagai peserta dari Bidang Hukum Polda DIY dalam Lokakarya Divkum Polri dengan tema BANTUAN DAN NASEHAT HUKUM DIVISI HUKUM POLRI DAN BIDKUM POLDA KEPADA KELUARGA BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
[2] Kasubbid Bankum Bidkum Polda DIY
[3] Lihat Pasal 7 ayat (1).
[4] Lihat Pasal 1 butir 5.
[5] Lihat Pasal 4 ayat (4).
[6] Lihat Pasal 4 ayat (5).
[7] Lihat Pasal 4 ayat (6)
[8] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Cetakan ke 4, Edisi Revisi, Jakarta, 2002, Hlm.112.
[9] Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hlm.103.
[10] Supriadi, 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal.121.
[11] Wikipedia, 10 oktober 2013, Keluarga, http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses 25 November 2013.
[12] ibid.
[13] aulia adinda, 22 Oktober 2012, pengertian keluarga inti dan keluarga besar serta fungsi keluarga, http://auliaadindadinda.blogspot.com/2012/10/pengertian-keluarga-inti-dan-keluarga.html, diakses 25 November 2013.
[14] Oka Widiawan, 4 Desember 2010, Pengertian Keluarga dan Fungsinya, http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html, diakses 25 November 2013.
[15] Suparyanto, 6 Oktober 2011, Pengertian Keluarga, http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/10/pengertian-keluarga.html, diakses 25 November 2013.
[16] aulia adinda, opcit.
[17] ibid.
[18] Oka Widiawan, opcit.
[19] ibid.
[20] Sehat Online, Pengertian Keluarga, Jenis Tipe macam Keluarga, http://e-medis.blogspot.com/2013/06/pengertian-keluarga-jenis-tipe-macam.html#.UpKZzNJge5w, diakses 25 November 2013.
[21] aulia adinda, opcit.
[22] Suparyanto, opcit.
[23] aulia adinda, opcit.
[24] Lihat Pasal 290.
[25] Lihat Pasal 291.
[26] Lihat Pasal 292.
[27] Lihat Pasal 293.
[28] Kin dan Tatang, Tanya Jawab Hukum Perdata 2, Cetakan Pertama, Armico, bandung, 1981, hlm.16
[29] Sehat Online, opcit.
[30] Lihat Pasal 26 ayat (1).
[31] Lihat Pasal 5 huruf b.
[32] Lihat Pasal 7 ayat (1).
[33] Lihat Pasal 1 butir 1
[34] Lihat Pasal 4 ayat (2).
[35] Lihat Pasal 4 ayat (3).
[36] Hukum Online, Sabtu, 6 Oktober 2012, Anggota Polri Juga Berhak atas Bantuan Hukum, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506febb634bd9/anggota-polri-juga-berhak-atas-bantuan-hukum, diakses tanggal 22 November 2013.
[37] ibid.
[38] Shanti Rachmadsyah, Klinik Hukum Online, 20 April 2010, Dasar Hukum Non-Advokat Beracara di Pengadilan, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4bc4a5d132f01/dasar-hukum-non-advokat-beracara-di-pengadilan, diakses 22 November 2013.
[39] Ilman Hadi, Klinik Hukum Online, 18 Maret 2013, Legalitas Anggota Polri Sebagai Penasehat Hukum, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513d568166f6f/legalitas-anggota-polri-sebagai-penasehat-hukum, diakses tanggal 22 November 2013
[40] Ilman Hadi, opcit.
[41] Lihat Pasal 1 butir 1
[42] Lihat Pasal 4 ayat (2).
[43] Lihat Pasal 4 ayat (3).
[44] Lihat Pasal 7 ayat (1).
[45] Lihat Pasal 8.
[46] Lihak Pasal 9.
[47] Lihat Pasal 12.
[48] Lihat Pasal 11.
[49] Lihat Pasal 13.
[50] Lihat Pasal 14.
[51] Rachmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal.70.
[52] ibid.
[53] Chidir Ali, Responsi Hukum Acara Perdata, Armico, Bandung, 1987, hlm.24.
[54] R. Soeroso, Pratik Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.3.
[55] Catatan Kampus Unhalu, 22 Januari 2009, Hukum Acara Perdata, http://hukumacaraperdata.blogspot.com/, diakses 25 November 2013.
[56] Retno Wulan S dan iskandar O, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 1 dan 2, http://elwildan.files.wordpress.com/2012/03/pengertian-sumber-hukum-dan-sejarah-hukum-acara-perdata.pdf, diakses 25 November 2013.
[57] M. Ali Syahriansyah, 01 Juli 2012, Pengertian Hukum Acara Perdata Menurut Para Ahli, http://alisyahriansyah.blogspot.com/2012/07/pengertian-hukum-acara-perdata-menurut.html, diakses 25 November 2013.
[58] Perkembangan Hukum, 8 Januari 2011, Pengertian Hukum Acara Perdata, http://intisarihukum.blogspot.com/2011/01/pengertian-hukum-acara-perdata.html, diakses 25 November 2013.
[59] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.70.
[60] ibid, hlm.72.
[61] Lihat Pasal 131 ayat (1) dan (2) HIR.
[62] M. Yahya Harahap, opcit, hlm.73.
[63]  Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, Cetakan ke-I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.20.
[64] R. Soeroso, opcit, hlm.42.